Sejarah Aceh Disertai Photo Kuno

1882: Masjid Kutaraja, Aceh. 
Pelukis: E.B. Kielstra.


ACEH
Artinya: Arab, China, Eropa, dan Hindia (Hindustan).

Dari judul di atas, setidaknya ada tiga hal yang menjadi pertanyaan bagi kita yakni pertama, sejarah, perjuangan, dan bangsa Aceh. Tiga hal tersebut memang membutuhkan waktu yang usang untuk mengkaji atau mendiskusikannya. Sebab, sepengetahuan penulis, kajian perihal sejarah Aceh telah banyak ditulis baik itu oleh orang Aceh sendiri maupun orang luar. Misalnya, kajian H.M. Zainuddin, 1] Ibrahim Alfian,[2] Lee Kam Hing,[3] C. Snouck Hurgronje,[4] dan lain sebagainya.[5].



Karya-karya di atas, tentunya sudah pernah dibaca oleh kita semua. Karena itu, untuk menjelaskan sejarah usaha Aceh, nampaknya karya yang penulis kemukakan tersebut cukup membantu dalam memahami sejarah usaha bangsa Aceh. Apalagi, kini kondisi Aceh masih bergejolak. Karenanya, tujuan dari kajian kita pada potongan ini ialah mencari titik-titik temu sejarah yang bisa dirakit kembali untuk usaha masyarakat Aceh. Dengan tujuan ini, diperlukan setiap rakyat Aceh punya kesadaran perihal sejarah yang tidak hanya untuk dijadikan materi pujian daerah, tapi juga bisa membuat sejarah yang pernah terjadi di tempoe doeloe. Dengan demikian, generasi yang sadar sejarah sangat diperlukan di era masa depan. Sebab, ketika sejarah tidak ditulis atau direduksi, maka sekian banyak kerugian yang diderita oleh suatu bangsa.[6]



Dalam konteks di atas, Taufik Abdullah menyatakan bahwa sejarah memang mempunyai arti ganda. Pertama, sejarah sebagai pengalaman empiris – sebagai sebagai kejadian penting yang dilalui. Kedua, sejarah sebagai potongan dari kesadaran –ketika pengalaman itu telah diberi makna. Artinya, dari pengalaman empiris itu banyak sekali pesan dan pelajaran serta kebijaksanaan telah diambil.[7] Karena itu, Asvi Warman Adam berkesimpulan perihal fungsi sosial-politik dari sejarah tidak sama pada seluruh masyarakat di dunia. Ada yang berfungsi untuk mengkonsolidasikan persatuan dan kesatuan bangsa, ada pula yang bertujuan untuk menemukan jati diri suatu bangsa serta mencari “kebenaran” mengenai masa lampau, ada juga yang berperan untuk mencerdaskan warga negara.[8]



1724-1726: Peta Banda Aceh oleh Valentyn, 
dari buku Oud en Nieuw Oost Indien. 

Dalam kerangka ini, kajian ini diajak untuk memahami sejarah usaha bangsa Aceh. Sejarah sebagai konsolidasi yaitu dimana setiap kita menjadikan kejadian masa kemudian sebagai alat untuk mempersatukan bangsa Aceh.[9] Sejarah sebagai inovasi jati diri ialah sejarah yang menggambarkan bangsa Aceh sebagai salah satu bangsa yang pernah jaya di panggung dunia, yang pada gilirannya aspek ini membentuk jiwa yang bisa menatap ke depan bukan ke belakang sebagai romantisisme yang malah bukan menemukan jati diri akan tetapi lupa diri. Sejarah sebagai alat pencerdasan merupakan sejarah yang menjadikan setiap pembacanya mengerti dan berguru dari kejadian tersebut bukan untuk mengulangi. Sebab, sejarah hanya berlaku untuk ruang dan waktu tertentu yang karenanya sejarah tidak untuk dikenang-kenang tapi bagaimana sejarah bisa memenangkan perjuangan.

1896: Masjid Indrapuri di Aceh. 
Pelukis: G.B. Hooijer.

Keberhasilan Bangsa Aceh Tempoe Doeloe

Mengungkapkan keberhasilan suatu bangsa –khususnya Aceh– dalam tinjauan sejarah bukan hal yang sulit. Sebab, Aceh merupakan salah satu tempat di Nusantara yang beruntung yang sejarahnya banyak ditulis oleh para peneliti. Hal ini setidaknya sanggup dilihat dari karya-karya di atas yang memperlihatkan bahwa sejarah Aceh masih dan akan terus ditulis. Namun, mengambil intisari mengapa usaha bangsa Aceh dahulu bisa berhasil bukan pekerjaan yang mudah. Sebab, bila sejarah ditulis oleh lawan, maka sejarah tersebut tidak akan terlepas dari bias penulis itu sendiri. Sebaliknya, sejarah yang ditulis oleh pribumi cenderung menonjolkan kelebihan tinimbang kekurangan. Untuk lebih jelasnya, maka pembahasan sub-bagian ini akan dibagi ke dalam tiga aspek yaitu, politik, ilmu pengetahuan, dan agama.

1. Politik

Dalam potongan politik, munculnya kerajaan Islam di Aceh merupakan hal yang tidak sanggup diabaikan oleh para generasi muda Aceh.[10] Secara kronologi, setidaknya ada lima kerajaan Islam di Aceh, yaitu Kerajaan Peureulak, Benua Tamiang, Kerajaan Islam Samudera Pasai, Kerajaan Islam Lamuri, dalam Kerajaan Islam Aceh.

Kerajaan Pereulak[11] merupakan kerajaan Islam pertama di Aceh, bahkan di Indonesia. H. M. Zainuddin mencatat bahwa Kerajaan Peureulak ialah lebih bau tanah dari kerajaan Tumasik (Singapura) dan Bintan, juga jauh lebih bau tanah dari kerajan Pasai dan Melaka, yang mungkin sebaya dengan kerajaan Aru dan Palembang (Sriwijaya), bahkan lebih bau tanah dari kerajaan Majapahit di pulau Jawa.[12] Sistem ketatanegaraan, menurutnya, masih primitif atau rezim bangsa Melayu sekarang, yaitu kepala negerinya disebut Radjo/Radja, bawahannya disebut Kedjuren dan Penghulu, tidak menyerupai tradisi di Pasai, Pidie, dan Aceh Besar.[13]

Di samping kerajaan di atas, Kerajaan Benua Tamiang yang mula tidak beragama Islam,kemudian sehabis takluk ke Samudera dan memeluk agama Islam,[14] maka oleh Sulthan Pasai diangkatlah raja lain yang berjulukan Radja Muda Sedia, pengganti Radja Dinok yang tewas dalam peperangan melawan tentera Samudra Pasai.[15]

Corak pemerintahan kerajaan ini disebutkan ber “Balai” dengan susunannya sebagai berikut: pertama, Raja dibantu oleh seorang Mangkubumi yang mempunyai kiprah sehari-hari mengawasi jalannya pemerintahan dan ia bertanggung jawab kepada raja (pada waktu Raja Muda Sedia, mangkubuminya ialah: Muda Sedinu). Pertama, untuk mengawasi jalannya pelaksanaan aturan oleh pemerintah atau lembaga-lembaga penegak aturan yang dibentuk, diangkat pula seorang Qadhi Besar. Di Tingkat pemerintah daerah terdapat pula; a) Datuk-Datuk Besar yang memimpin daerah-daerah kedatuan; b) Datuk-Datuk Delapan Suku yang memimpin daerah-daerah suku perkauman; c) Raja-Raja Imam yang memimpin di daerah-daerah dan sekaligus juga bertindak sebagai sebagai penegak aturan di daerahnya.[16] Kerajaan ini pernah diserang pada sekitar tahun 1351 M., oleh kerajaan Majapahit.


1896: Sebuah makam di Kraton, Banda Aceh. 
Juru foto: G.B. Hooijer


Lebih lanjut, kerajaan yang ketiga ialah Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kerajaan ini berdiri semenjak kala ke-XI M. atau tepatnya pada tahun 1042 (433 H). Dan sebagai pendiri serta Sulthan yang pertama dari kerajaan ini ialah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470, atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.[17] Untuk menandakan perihal kerajaan ini, laporan Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi nampaknya layak untuk disebutkan di sini:

Samudra Pasai ialah kerajaan yang bercorak Islam dan sebagai pemimpin tertinggi kerajaan berada di tangan Sulthan yang biasanya memerintah secara turun temurun. … di samping terdapat Sulthan sebagai pimpian kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, menyerupai Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), Seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Penglima Angkatan Laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang gila di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah imbas kerajaan itu. Biasanya para Syanbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara Sulthan dan pedagang-pedagang asing.[18]

Sebagai bukti kemegahan kerajaan ini, kedatangan satu Musafir dari Timur Tengah sanggup dijadikan sebagai data sejarah yang tidak sanggup diabaikan, yakni Ibn Battutah. Ibnu Bathuthah tiba ke Aceh pada 1345. Sedangkan yang menjadi tempat tujuan Ibn Bathuthah ialah Kerajaan Samudera Pasai. Ketika Ibn Bathuthah singgah di Pasai selama lima belas hari dalam tahun 746/1345, menyaksikan Islam aliran Sunni telah berkembang pesat dan madzhab yang dianut Syafi‘i. Kehidupan kerajaan bergaya Persia. Diceritakan pula bahwa di antara orang-orang besar kerajaan yang menjadi anggota majelis sultan termasuk Amir Daulah yang berasal dari Delhi, Qadli Amir Said dari Syiraz dan jago aturan Tajuddin dari Isfahan. Ibn Bathuthah melaporkan juga bahwa banyak orang besar kerajaan pernah bertemu dengannya di Delhi.[19] Ibnu Di Bathuthah juga melaporkan perjalanannya menyampaikan bahwa dalam sebuah pengertian politis, Samudera ialah pos luar yang paling final dari Dar al-Islam. Sekalipun kota-kota lainnya di sebelah Selatan sepanjang pantai Sumatra telah membuatkan dengan suburnya permukiman-permukiman komersial, tidak ada negara Muslim merdeka yang diketahui eksistensinya dimana pun di sebelah Timur Samudera sebelum pertengahan kala keempat belas.[20] Di Samudera Pasai bertemu dengan salah seorang perwira tinggi militer, yang ternyata sudah dikenalnya. Orang itu pernah berpergian ke Delhi beberapa tahun sebelumnya dalam rangka misi diplomatik bagi Samudera.[21]

1880: Suasana kota Ulele.


Setelah Kerajaan Samudera Pasai di Aceh tepatnya di Pidie ditemukan Kerajaan Islam Lamuri. Meski masih simpang siur, kabar perihal kerajaan ini, berdasarkan penulis-penulis luar, kerajaan Lamuri sudah disebut-sebut oleh berita-berita Arab semenjak pertengahan kala ke IX M. Seperti juga kerajaan Islam Sumadra Pasai yang berpola maritim dan Islam, maka kerajaan Lamuri yang juga hampir berpola sama tentunya juga mempunyai sistem dan lembaga-lembaga pemerintahan yang tidak jauh berbeda dengan kerajaan Islam Samudra Pasai.[22]

Terakhir, kerajaan Islam yang hingga kini masih dikaji ialah Kerajaan Islam Aceh. Pusat Kerajaan Aceh itu di Banda Aceh atau di Kutaraja kini ini yang mulai didirikan pada abd ke XV. Pada mulanya sentra pemerintahan Aceh terletak di satu tempat yang dinamakan kampung Ramni dan dipindahkan ke Darul Kamal oleh Sultan Alaudin Inayat Johan Syah (1408-1465) Kemudian memerintah Sulthan Muzaffar Syah (1465-1497. Beliaulah yang membangun kota Aceh Darussalam.[23]

Dari paparan di atas, yang ingin dikatakan bahwa bangsa Aceh telah usang menjadi potongan tersendiri dari kepulauan Nusantara. Walaupun demikian, bila data historis ini ditampilkan lagi sekarang, apakah bangsa Aceh akan berdiri menyerupai dulu lagi. Atau, sebaliknya justru malah mengalami kemunduran yang lebih parah dari sebelumnya. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka pada potongan selanjutnya akan diulas perihal perkembangan ilmu pengetahuan di Aceh. Tujuan yang hendak dicapai ialah untuk membandingkan semangat pencarian ilmu tempoe doeloe dengan sekarang.


1881: Suasana di depan Kraton, 
Kutaraja (Banda Aceh).


2. Ilmu Pengetahuan

Sayang memang, daerah Aceh kini menjadi propinsi bodoh dalam bidang pendidikan. Daerah ini dulunya menjadi tempat mencari ilmu pengetahuan, kini malah sebaliknya, dari Aceh banyak yang mencari ilmu ke luar daerah yang pada gilirannya mutu pendidikan di daerah semakin menurun drastis. Bagi kita, khsusunya penulis, pendidikan ialah bentuk usaha total masa kini dan yang akan tiba di Aceh.

Bangsa Aceh telah usang menjadi sentra pengkajian ilmu pengetahuan, khususnya studi Islam (islamic studies). Hampir setiap Raja di Aceh didampingi oleh para alim ulama. Di samping itu, forum pendidikan dayah[24] juga sanggup ditemui di hampir seluruh daerah Aceh. Dayah di Aceh berfungsi 1) sebagai sentra berguru agama; (2) benteng terhadap kekuatan melawan penetrasi penjajah; (3) biro pembangunan; (4) sekolah bagi masyarakat.[25]

Oleh lantaran itu, tidak heran bila forum ini di Aceh menjadi sentra penggerak rakyat dalam banyak sekali bidang. Sebagai sentra berguru agama, dayah telah mendidik para calon ulama yang hingga kini masih sanggup dilihat ditengah-tengah masyarakat. Menurut sejarah, para ulama yang tiba dari Timur Tengah mengajarkan ilmu agama Islam di dayah-dayah. Atau, para teungku dayah pernah berguru pada seorang alim ulama dari Timur Tengah. Sebagai benteng pertahanan, dayah telah menoreh catatan sejarah tersendiri dalam lintasan banyak sekali kejadian di Aceh. Bahkan pada waktu Kesultanan Aceh diserang Belanda, para ulama dengan gigih bertahan.[26]


1890-1910: Gerbang Kerkoff Peucut, makam prajurit Belanda di Peucut.

Dengan demikian, tidak sanggup dipungkiri bahwa dayah memegang kiprah yang cukup signifikan di Aceh. Jadi, jangan heran, bila kini ulama dan dayah di Aceh sering menjadi basis pertahanan Gerakan Acheh Merdeka. Hemat penulis, mereka mencontoh sejarah tempoe doeloe.

Selain dayah, di Aceh juga sangat populer dengan ulama yang jago dalam banyak sekali bidang ilmu pengetahuan, khususnya Islam. Nama menyerupai Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Abdur Rauf Singkeli, Nurdin Al-Raniri merupakan ulama yang sangat produktif menulis. [27] Melalui karya-karya mereka, Aceh dikenal sebagai tempat untuk mencari ilmu pengetahuan. Syekh Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman ialah salah seorang ulama yang pernah berguru di Aceh. Karena itu, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sentra pencerahan ilmu pengetahuan di Indonesia di mulai dari Aceh.[28]

Kenyataan sejarah tersebut memang diakui oleh para peneliti sejarah. Namun sayangnya, sejarah tersebut tidak sanggup diulangi oleh generasi selanjutnya. Setelah kedatangan Belanda dan diteruskan oleh pergolakan demi pergolakan di Aceh telah mengakibatkan pencarian ilmu pengetahuan di Aceh mengalami kemunduran pada titik nol. Hal ini memang sangat berlebihan, tapi bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya, bantuan generasi Aceh terhadap peningkatan ilmu pengetahuan di Aceh sangat lamban. Hal ini disebabkan oleh gejolak di Aceh semenjak pasca kemerdekaan hingga dengan kini ini.

3. Agama

Di Aceh, agama (baca: Islam) menjadi sendi pokok dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua lapisan masyarakat selalu melandaskan pada agama Islam. Sehingga, kekuataan agama menjadi salah satu pendorong dalam usaha bangsa Aceh. Melalui agama, kerajaan juga bisa berkembang. Lewat agama juga, ilmu pengetahuan bisa mencapai kemajuan yang sangat berarti. Demikian, juga agama menjadi aturan bagi masyarakat Aceh.

Sebagai contoh, dua aspek di atas yaitu politik dan ilmu pengetahuan selalu mengedepankan Islam sebagai landasannya. Undang-undang Kerajaan Aceh hampir semuanya berdasarkan pada agama.[29] Untuk menandakan data sejarah yang nyata perihal kiprah agama di Aceh, dalam manuskrip kitab Tazkirah Thâbaqat Jumû‘ Sultân As-Salâtîn disebutkan bahwa:

“Syahdan ( ) maka ketahui oleh hai talib bahwa pada negeri Islam dalam seluruh dunia ini dari dahulu hingga kini hingga akan tiba tiap-tiap kerajaan ( ) Islam hendaklah memegang tiga kasus pertama qanun syara‘ Allah kedua qanun syara‘ Rasul Allah ketiga qanun syara‘ kerajaan maka tiga macam ( ) menyerupai yang tersebut maka hendaklah memegang oleh sulthan-sulthan dengan teguh biar negeri kondusif dan rakyat bahagia hidup dengan makmur ( ) wajib itu dua macam yang pertama wajib fardhu ain yang kedua wajib fardhu kifayah”.

Para perempuan di depan mesjid raya Banda Aceh


Dengan demikian, sanggup ditarik kesimpulan bahwa agama merupakan tiang pokok masyarakat Aceh. Karena itu, dengan semangat agama, semua masalah di Aceh sanggup diselesaikan. Dalam melawan penjajah, rakyat Aceh selalu melibatkan “agama di depan”. Tujuan yang hendak dicapai oleh agama ialah syahid.[30] Dan bila sudah syahid maka syurga ialah harapan terakhir. Akibatnya, para syuhada di Aceh sangat banyak sekali. Ringkasnya, dengan ideologi jihad, kedatangan penjajah Belanda, berdasarkan Azyumardi Azra, menjadi semacam “ rahmat terselubung”, bagi kelompok-kelompok etnis Muslim di tempat ini.[31]


Gunongan


Pada dikala yang sama, masalah di Aceh juga selalu melibatkan agama. Misalnya, Gerakan Di/TII yang dipelopori oleh Daud Beureueh dalam Manifesto Pemberontak Aceh juga mengatasnamakan agama sebagai alasan gerakan tersebut. Untuk lebih lengkapnya mengenai teks manifesto tersebut, kami sebutkan di bawah ini:

“Atas nama Allah kami rakyat Aceh sudah membuat sejarah gres di atas persada tanah tumpah darah, kami berkehendak membentuk suatu Negara Islam.
Kami telah jemu melihat perkembangan-perkembangan atas dasar Negara Republik Indonesia, betapa tidak, semenjak dahulu kami berharap, bercita-bercita negara berkisar atas dasar Islam, akan tetapi jangankan terujud apa yang kami idam-idamkan, malahan sebaliknya semakin hari tampak pada kami ada di antara pemuka-pemuka Indonesia mencoba membelok ke arah yang sesat.

… Jika pidana Tuhan tidak berlaku, itu berarti menyimpang dari Ketuhanan Yang Maha Esa.
Andaikan UUD R.I. sudah memberi jaminan kemerdekaan beragama c.q. Islam, sudah usang pula sanggup berjalan hukum-hukum agama di tanah Aceh, yang rakyatnya 100 persen beragama Islam.

Pertempuran di Samalanga


Malahan oleh Kejaksaan Agung sendiri pernah mencoba-coba mengeluarkan berkhotbah di mesjid atau di tempat-tempat lain yang katanya tempat agama, yang berisi politik, padahal bagi kami politik ialah sebagian dari agama yang kami anut, kalau boleh kami menyampaikan bahwa Kejaksaan Agung ialah instansi resmi yang mula-mula mencoba menghalangi-halangi kami beragama, yang harus diminta pertanggung tanggapan di hadapan UUD Negara dan di depan Tuhan, bila orang dari Kejaksaan Agung juga beragama Islam dan beriman kepada Tuhan.

…. Rasa duka dan kesal ini memupuk keinginan kami untuk membentuk suatu Negara Islam. Andaikata orang menyalahkan kami, maka kesalahan itu harus mula-mulanya ditimpakan kepada bahu Sukarno sendiri.


Sejarah Panjang Yang Berselimut Darah Serta Air Mata


Pemandangan gerbang utama dalam Sultan Aceh


Andaikata orang menyampaikan pembentukan Negara Islam di Aceh berlawanan dengan aturan dan menjadikan kekacauan, kami akan menyampaikan bahwa tindakan kami ini disebabkan oleh aturan yang kacau atau lantaran kekacauan hukum; tentu tidak heran; kekacauan akhir (karena) kekacauan hukum, tentu orang tidak sanggup memperbaiki akhir sebelum ia sendiri memperbaiki asal pokok musababnya….”[32]

Mesjid Raya di Koetaraja tahun 1881


Jadi, di Aceh agama dijadikan standar dalam segala sisi kehidupannya. Jika sesuatu hal yang tidak bertentangan dengan agama, maka hal tersebut tidak akan dipermasalahkan. Begitu juga sebaliknya, bila ada masalah bertentangan dengan agama, maka nyawa sebagai taruhannya. Untuk itu, sejarah telah membuktikannya.

Kemah Bermain Musik dengan dekorasi – 1874


Lapangan depan “Dalam” Sultan Aceh – 1880


Pantulan Sejarah Terhadap Persoalan Aceh Sekarang

Dari uraian sejarah di atas, sepertinya gejolak di Aceh tidak lepas dari konteks sejarah. Karenanya, untuk menganalisa masalah Aceh, berikut ini akan diketengahkah beberapa titik balik sejarah Aceh yang sedikit banyak mengalami paradoks.

a) Setelah melihat kekuatan politik Aceh tempoe doeloe, maka hal yang pertama yang terjadi di Aceh ialah merosotnya kekuataan politik di Aceh, baik itu di kalangan rakyat baik di dalam maupun di luar Aceh. Dahulu, persatuan kerajaan Islam Aceh telah mengakibatkan daerah ini bisa menguasai hingga ke Semenanjung Malaka. Sekarang sehabis tidak adanya persatuan politik perihal kesadaran akan sebagai rakyat Aceh, masalah yang terjadi tidak pernah terselesaikan. Indikasi yang memperlihatkan ke arah tersebut nyata di depan mata. Dulu, rakyat Aceh menerima dukungan dari banyak sekali kerajaan (negara) Islam. Sekarang sehabis kekuatan politik lemah, tidak ada satu negara pun yang membantu Aceh.

Selain indikasi di atas, rakyat Aceh tidak pernah bersatu dalam satu ikatan. Dalam konteks ini, istilah lain ialah pengkhianat. Hampir seluruh usaha bangsa Aceh kandas di tangan pengkhianat. Para syuhada, kecuali gugur secara wajar, banyak juga yang wafat lantaran ulah pengkhianat. Watak ini hingga kini masih membekas. Para pengkhianat ini selalu melintasi sejarah Aceh.[33] Mereka terkadang secara terang-terangan menjual Aceh kepada penjajah atau juga dengan cara diam-diam. Adanya pengkhianat ini telah mengkandaskan usaha bangsa Aceh semenjak zaman Belanda. Sejauh pengetahuan penulis, Teuku Chik Di Tiro meninggal sehabis diracuni oleh seorang janda. Cut Nyak Dhien ditawan oleh Belanda lantaran diberitahu oleh salah seorang kawannya. Masih banyak bentuk pengkhianatan lain yang hingga kini membekas dalam benak rakyat Aceh.

Pasukan Marsose dikala perang Aceh


Selain pengkhianatan, di Aceh juga terjadi “dendam sejarah” yang hingga kini masih api dalam sekam. Akibat dari “dendam sejarah”, tidak heran bila ada segolongan rakyat Aceh tidak punya keinginan menuntaskan masalah Aceh. “Dendam sejarah” tersebut ialah “Peristiwa Cumbok”. Peristiwa ini, berdasarkan Taufik Abdullah, “revolusi sosial” di Aceh. Inti dari “revolusi” tersebut banyak uleebalang yang menemui ajalnya, dan banyak pula harta mereka yang dirampas.[34] Efek dari kejadian tersebut telah mengakibatkan rasa persatuan di kalangan rakyat Aceh melentur sehingga sangat gampang dimasuki oleh “penjajah” model baru. “Penjajah” ini sangat paham akan kekuatan rakyat Aceh, sehingga yang pertama kali dikikis habis ialah rasa “memiliki” Aceh.

Orang Aceh Utara menyampaikan bahwa dirinya ialah orang “paling” Aceh, lantaran tempat ini banyak industri vital. Begitu juga Aceh Pidie juga menyebutkan bahwa dirinya orang “paling” Aceh, lantaran dari wilayahnya banyak muncul tokoh-tokoh penting dalam sejarah Aceh. Pada dikala yang sama, orang Gayo yang tidak ingin disebut orang Aceh. Karenanya, mereka selalu menyebut dirinya “orang Gayo”.[35] Padahal dalam sejarah bangsa Aceh, persaingan tingkat inter-etnis lokal tidak pernah ada. Dahulu para satria dalam bergerilya hampir menyisir seluruh potongan Aceh. Kenapa sekarang, ketika sudah merdeka kita membuat “kapling ideologi”. Sesungguhnya, hal tersebut tidak pernah terjadi dalam sejarah Aceh.

Kenyataan ini, ialah potensi yang membuat perpecahan di Aceh. Potensi tersebut sanggup dibaca oleh “musuh” baik itu dari dalam maupun dari luar. Karenanya tidak heran bila kini peta pergerakan usaha di Aceh sangat beragam. Di tingkat lapangan ditemui GAM dengan rakyat. Di tingkat menengah dijumpai para mahasiswa dan penggagas LSM yang mempunyai bermacam-macam orientasi perihal masalah Aceh. Di tingkat atas, para elit politik yang “bermain” di Jakarta, Aceh dan luar negeri.

Kandang XII (Komplek Makan XII Sultan di Koetaraja)


Suasana Neusu – 1874


GAM cenderung mendekati rakyat dengan pendekatan sejarah. Belum lagi masalah GAM Cantoi[36] yang memeras rakyat. Di sini membuktikan rakyat Aceh belum matang dalam mempelajari politik. Memang bila semua kita membenarkan gerakan kita atas nama sejarah, maka sejarah yang mana yang kita harapkan dari masyarakat. Mengapa sejarah tersebut tidak dijadikan sebagai sentra kesadaran kolektif masyarakat. Maksudnya, bila berdasarkan sejarah, bangsa Aceh berhasil mengapa keberhasilan tersebut tidak kita contoh. Apakah sejarah hanya untuk membangkitkan semangat tanpa jadwal dan sasaran yang nyata.

Hal yang sama juga terjadi pada para mahasiswa penggagas Referendum, yang berdasarkan irit penulis telah tidak bertanggung jawab dalam menggulirkan isu tersebut. Awalnya, isu tersebut bisa menjadi pendidikan politik masyarakat Aceh. Sayangnya istilah tersebut diartikan dengan merdeka. Kekeliruan ini tentunya dimanfaatkan oleh kalangan yang menginginkan Aceh tetap kacau. Secara istilah, referendum ialah penyerahan suatu masalah kepada orang banyak biar mereka menentukan (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu masalah biar diputuskan dengan pemungutan bunyi umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat). Dalam hal ini, referendum ada dua yaitu referendum fakultatif tidak wajib meminta pendapat secara pribadi (bergantung pada putusan penguasa), misal penetapan undang-undang; referendum obligator kewajiban meminta pendapat rakyat secara pribadi dalam mengubah sesuatu, misal perubahan konstitusional.[37] Dalam konteks tersebut, nampaknya sosialisasi referendum di Aceh telah mengalami kegagalan sehingga yang ditengarai oleh Jeda Kemanusiaan yang secara aturan tidak mengakhiri proses pembantaian di Aceh. Sekali lagi, kalangan yang mensosialisasikan referendum telah terjebak ke dalam makna “merdeka” sehingga rakyat mengharapkan referendum yang oleh mahasiswa hingga dikala ini belum bisa direalisasikan. Namun demikian, usaha ke arah tersebut patut dihargai meskipun dengan beberapa catatan di atas.
Adapun para elit politik sanggup dibagi ke dalam empat golongan.

Pertama, mendukung sepenuhnya dan secara lantang mensuarakan kehendak rakyat Aceh. Namun terkadang usaha mereka kandas di tengah jalan. Ada yang diculik, dibunuh dan dibantai. Oleh lantaran itu, upaya yang dilakukan untuk menuntaskan masalah Aceh tidak pernah terselesaikan.
Kedua, mendukung tapi tidak memperlihatkan dukungannya. Biasanya dukungan tersebut muncul ketika menyimak gosip perihal Aceh. Kelompok ini biasanya sangat erat dengan orang Aceh, tapi tidak punya “kuasa” dalam pengambilan keputusan politik.

Ketiga, tidak mendukung sepenuhnya. Kalangan ini secara terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaan pada rakyat Aceh. Mereka ada yang terdiri dari orang Aceh dan bukan orang Aceh. Orang Aceh yang dimaksud ialah mereka yang punya “dendam sejarah” dan telah menikmati hasil keringatnya yang tidak mau “diganggu”. Sedangkan orang luar Aceh merupakan orang-orang yang punya kepentingan di Aceh baik secara politik maupun ekonomi. Nampaknya faktor terakhir lebih mayoritas ketimbang faktor pertama.

Keempat, tidak mendukung penyelesaian masalah Aceh, namun tidak memperlihatkan ketidakinginannya. Mereka cenderung bermain di belakang layar. Tujuan yang hendak dicapai, ialah sama dengan kelompok ketiga, tapi mereka punya pilihan lain bila keinginan mereka tidak tercapai. Atau dengan kata lain, bila usaha rakyat Aceh berhasil, maka mereka akan ke pilihan lain.

b) Pendidikan Aceh telah merosot ke titik nadir. Dulu Aceh menjadi sentra studi di Asia Tenggara. Sekarang, malah sebaliknya, kita orang Aceh “hengkang” dari Aceh ke luar Aceh dan mutu pendidikannya sangat rendah. Di tambah lagi mutu SDM kita sangat rendah. Akibatnya, dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang tinggi tidak didukung oleh SDM yang memadai yang hasilnya hasil-hasil bumi Aceh banyak dinikmati oleh non-bangsa Aceh.

Pemandangan Bagian Timur Mesjid Raya

Benteng Belanda di Peunayong (Benteng Barat Laut) 1874


Hemat penulis, kekuatan pendidikan di Aceh, kini ini banyak dikikis habis. Bukti faktual ialah pembakaran sekolah-sekolah dan sibuknya mahasiswa Aceh dalam gejolak di Aceh. Sehingga sanggup dibayangkan, satu generasi Aceh akan bodoh total. Ramalan ini bukan mengada-ada. Jika usia 7 tahun (2000) tidak sekolah atau tidak ada keamanan, maka umur 25 tahun (2018) sebagai usia produktif akan berkurang mutu pendidikan di Aceh. Bisa dibayangkan bagaimana sejarah masa depan Aceh nantinya. Semua aspek kehidupan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan rakyat. Andai sejarah masa depan menjadikan bangsa Aceh merdeka, satu pertanyaan yang mungkin muncul yaitu bagaimana mutu pendidikan bangsa Aceh. Kita tentunya tidak ingin menyerupai Timor Timur. Begitu juga bila diberlakukan otonomi khusus, apakah bangsa Aceh siap mengelola hasil-hasil buminya.

Keraguan ini bukan tanpa alasan mengingat seluruh lapisan masyarakat Aceh telah melupakan pendidikan. Hampir semua bangsa Aceh melupakan faktor pendidikan, khususnya bagi generasi muda. Begitu juga, bila semua cowok Aceh memanggul senjata atau demontrasi maka sanggup dibayangkan pada tahun 2015, posisi Aceh dalam percaturan ilmu pengetahuan akan mundur ke belakang. Untuk itu, perlu dikembangkan lagi wajib berguru bagi mereka dan mau kembali membangun Aceh.

Kenyataan bahwa di Aceh terjadi pembodohan besar-besaran ialah bukan hal yang mesti dipungkiri. Sebab, cara pembodohan tersebut di Aceh sangat sistematis dan ini harus disadari oleh kita. Cara-cara tersebut ialah dengan memperabukan sekolah-sekolah, membantai para ulama,[38] dan membuat ketegangan di tengah-tengah masyarakat Aceh. Menurut sejarah, hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Belanda ketika menjajah Aceh. Misalnya, dayah dibakar berikut kitab-kitabnya, ulama dibantai, masyarakat dibuat resah. Dengan demikian, dibutuhkan kesiagaan penuh untuk membangkitkan kembali pendidikan di Aceh.

Bibak Belanda di Mukim Sagoe XII – 1874

Pemandangan di Gle Kameng – 1874

Suasana Padang Tiji – 1874

Bibak Belanda di Peunayong (dilihat dari luar sisi timur) 1874


Jika hal di atas, tidak menjadi perhatian kita, maka usaha bangsa Aceh akan sia-sia. Sebab, di era globalisasi yang akan berperan ialah teknologi dan ekonomi, di samping juga agama akan memegang kiprah yang signifikan.[39] Artinya, apabila bangsa Aceh ingin membuat sejarah lagi, maka tiga hal tersebut harus menjadi titik tekan dalam segala bentuk perjuangannya.
c) Agama tidak lagi menjadi perhatian dalam kehidupan di Aceh. Fenomena ini tidak sepenuhnya benar, namun arah kesana sudah nampak. Agama tidak lagi menjadi pertimbangan di Aceh. Nyawa, harta, perempuan ialah hal yang biasa. Seorang yang membenci orang lain, nyawa ialah taruhannya. Hal ini memang telah terjadi semenjak zaman penjajahan di Aceh. Dari waktu ke waktu, setiap nyawa niscaya melayang di bumi ini. Bagi yang berjuang, nyawa ialah taruhan yang sangat cocok untuk mencapai kesyahidan. Dalam ini, agama ialah landasan. Tapi, bagi para “penjajah” nyawa ialah salah satu dari bentuk ”komando” yang harus dipatuhi.

Memang di Aceh akan berlakukan otonomi khusus yang diterjemahkan dengan semua urusan kecuali tiga urusan, yaitu kekerabatan luar negeri, pertahanan (keluar) dan moneter, diserahkan kepada Daerah (selanjutnya disebut Nanggrau Aceh Darussalam – NAD). Atau dalam bahasa Dzulkarnain Amin, Aceh memperoleh “kemerdekaan ke dalam”.[40]

Pohon Beringin Besar depan Mesjid Raya – 1874

Benteng Belanda di Peunayong (Sisi Depan Barat) 1874

Para Utusan dari Idi – 1874

Dengan demikian, kiprah agama akan sangat menentukan perihal bagaimana aplikasi dari otonomi khusus. Untuk itu, ulama, umara dan rakyat Aceh sejatinya menjadikan agama sebagai landasan dalam pelaksanaan otonomi tersebut. Namun hambatan muncul lagi yaitu bagaimana menerapkan agama dalam masyarakat yang sudah terkena “sindrom militerisme”. Istilah ini sengaja kami angkat guna memperlihatkan bahwa di Aceh kini tanda-tanda militerisme banyak ditemukan. Maraknya penghilangan nyawa secara paksa dan penyebaran fitnah ialah salah satu fenomena yang banyak ditemui di Aceh. Akhirnya, posisi agama akan sangat dilematis yang pada gilirannya penerapan agama ( baca: hukum) di Aceh akan menemui jalan buntu. Sebab, untuk melaksanakan hal tersebut dibutuhkan undang-undang yang konon gosip yang diterima RUU No.44 tahun 1999 belum disahkan hingga goresan pena ini disampaikan.[41]

Jika RUU tersebut disahkan, maka usaha bangsa Aceh akan berhasil, namun bila tidak, usaha bangsa Aceh akan menebarkan sebanyak mungkin kehilangan nyawa dan fitnah. Dengan perkataan lain, “jalan buntu” di atas harus dicari “jalan alternatif” yaitu kemauan politik (political will) dari lima komponen usaha bangsa Aceh di atas (GAM, rakyat, mahasiswa, LSM, dan elit politik Aceh). Kelima komponen tersebut, sejatinya duduk dalam “satu meja” bermusyawarah bukan malah membuat konflik yang sama sekali merugikan masing-masing pihak.


Benteng Meriam Belanda di Krueng Aceh – 1874

Pocut Di Murong (Tengah) 
Istri Sultan Muhammad Daudsyah

Statiun Kereta Api di Glee Kameng – 1874

Krueng Aceh dilihat dari Benteng Belanda – 1874


Manakala hal tersebut terjadi, memori sejarah usaha bangsa Aceh perihal keserasian antara ulama, umara dan rakyat di Aceh akan terulang kembali. Kita mungkin masih ingat ketika usaha bangsa Aceh melawan Belanda dimana cara Belanda dalam menaklukan Aceh ialah dengan cara memecah belah bangsa Aceh, citra ini sanggup diringkas sebagai berikut:
“Dalam usaha mereka untuk menguasai Aceh, Belanda mencoba untuk memisahkan kekuatan-kekuatan tradisional –sultan, uleebalang, dan ulama- dengan menyampaikan “pemerintahan sendiri” (“self governing”) bagi para uleebalang dengan cara korteverklaring (deklarasi singkat) pada tahun 1874. Cara ini menghasilkan kekerabatan yang tidak serasi antara uleebalang dan ulama, yang hasilnya terjadi konflik berdarah di antara mereka selang beberapa waktu sehabis Indonesia merdeka pada 1945. Pada dasarnya, perselisihan ini merupakan hasil rekayasa Belanda yang dianjurkan oleh Snouck Hurgronje pada final kala ini.”[42]

Akhirnya,

“Dengan cara-cara di atas, Belanda berhasil memecah belah persatuan rakyat Aceh, yang pada gilirannya mengakibatkan adanya konflik yang berkelanjutan antara kelompok yang pro-sultan dan pro-uleebalang. Di antara para uleebalang, ada yang sudah mempersiapkan untuk merebut korteverklaring, dan ada juga beberapa yang masih setia pada sultan. Kendatipun demikian, sultan memperoleh dukungan yang sangat berpengaruh dari ulama, hal mana sangat anti terhadap Belanda. Dengan begitu, mereka memimpin perlawanan terhadap mereka. Bersama dengan para darah biru yang masih mendukung sultan, para ulama ikut perang yang dilandaskan pada pedoman agama. Dengan memakai taktik perang gerilya, mereka terus-menerus berjuang dalam beberapa tahun untuk menghalangi Belanda yang membawa agama dalam kontrol mereka selama sepuluh tahun sehabis sultan ditawan. Dengan demikian, Belanda tidak berhasil memerintah di Aceh hingga final tahun 1918, selama 45 tahun sehabis meletus berperang.”[43]

Demikianlah yang dilakukan oleh Belanda dan nampaknya apa yang terjadi kini di Aceh tidak jauh berbeda dengan ilustrasi di atas. Teori Snouck dipraktekkan secara sistematis namun agak sedikit kejam, khususnya dalam bidang agama. Bukan maksud untuk membangkitkan rasa kemarahan, bencana penerapan DOM di Aceh ialah bukti sejarah hitam dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam hal ini, korban nyawa, harta, “perawan” (baca: pemerkosaan) ialah catatan pelanggaran HAM yang hingga kini belum ada satu pun disidangkan berdasarkan aturan negara Indonesia atau aturan Islam.

Setidaknya, berdasarkan laporan catatan banyak sekali sumber, catatan pelanggaran HAM di Aceh sebagai berikut: Versi FP HAM 25 Kasus Tersadis. 1) Tak boleh tutup aurat dikala shalat; 2) digorok dan rumah korban dibakar; 3) rumah terbakar, tak diganti rugi; 4) diikat, ditarik ramai-ramai, kemudian didor; 5) diganduli batu, kemudian dibenam ke sungai; 6) ajimat dicabut dan disiksa; 7) ditembak, kemudian kuburnya dibongkar; 8) digebuk, dicampak ke mobil, kemudian dikubur massal; 9) ditembak di depan umum; 10) diciduk di masjid, dibantai di lapangan; 11) dijadikan tameng dikala bertempur lawan GPK; 12) tangan dibedah, ditetesi air asam; 13) disiksa hingga mata kiri tak berfungsi; 14) diculik serempak kemudian dibunuh massal; 15) santri diculik, kemudian dibantai; 16) kepala dikuliti depan anak; 17) ditembak dalam sumur; 18) ditaruh pemberat besi; 19) disiksa sembilan malam, dilapari; 20) suami dibuang, istri disentrum: 21) semua gigi dirontokkan; 22) cacat lantaran dipukul dengan balok; 23) tulang rusuk dipatahkan; 24) digantung, kepala ke bawah; 25) diperkosa, hamil, ditinggal.[44]

Menurut versi AGAM, ada dua belas cara penganiayaan yang terjadi di Aceh terhadap tahanan selama DOM sebagai berikut: 1) disepak dan diterjang di potongan yang lemah dengan tujuan mencederakan; 2) pelir tahanan dijepit hancur dengan memakai tang; 3) Kaki bangku diletakkan ke atas anak jari kaki tahanan itu, kemudian para tentara duduk di atasnya untuk menambahkan tekanan atas anak kaki mereka hingga remuk–redam hancur berdarah; 4) telapak tangan dan kaki tahanan dipaku menyerupai orang yang disalin, hanya tiang salibnya saja yang tidak digunakan; 5) tahanan-tahanan direbus dengan air panas; 6) tahanan direndamkan berhari-hari atau berminggu-minggu dalam kolam air najis; 7) tahanan digantung kepala ke bawah dan kaki ke atas; 8) tubuh tahanan ditonjok dengan puntung rokok dan besi panas; 9) tahanan dipukuli dengan batang besi atau tangkai-tangkai yang keras berlapiskan papan tipis (triplek) di antara senjata tajam dengan tubuhnya biar bila dipukuli tinggal bekas tetapi rusak di dalam tubuh tersebut semakin parah, sehingga mereka muntah darah; 10) kawat besi yang tajam dimasukkan ke dalam jalan masuk kencing kemaluan kemudian diputar-putar kawat itu sehingga menjadikan sakit yang tidak terhingga; 11) tahanan-tahanan diikat ke sebuah balok es 1,5 meter, yang berjam-jam lamanya gres cair. Begitu mencair es kerikil tersebut, tahanan tersebut menjadi dan sudah tidak sadarkan diri; 12) ada di antaranya yang dicungkil matanya.[45]

Adapun pelanggaran HAM terhadap perempuan ialah menarik untuk mengutip versi Al-Chaidar (Aceh Bersimbah Darah), dkk. ada 12 cara yaitu 1) perempuan Aceh diperkosa tiga tentara; 2) pelecehan seksual terhadap kaum wanita; 3) diperkosa, hamil, kemudian ditinggal begitu saja; 4) gadis korban perkosaan melahirkan anak pemerkosa; 5) diperkosa sambil berdiri; 6) diperkosa, disetrum dan dicambuk dengan kabel; 7) ditelanjangi massal; 8) gadis cacat diperkosa oleh tentara yang sedang mabuk; 9)suami diculik, istri dilecehkan; 10) diambil paksa dan diperkosa; 11) diarak telanjang, kemudian didor; 12) digagahi di depan anaknya.[46]

Mesjid Raya Baiturrahman tahun 1881

Benteng Belanda di Peunayong


Data-data di atas ialah bukti nyata bahwa agama tidak lagi disegani oleh para pelanggar HAM. Ini membuktikan bahwa sebutan Serambi Mekkah tidak sempurna lagi. Sebab bila yang namanya Mekkah, maka setiap darah di atas tempat tersebut ialah haram hukumnya kecuali murtad. Karena itu, sebutan “Serambi Mekkah” harus didefinisikan kembali dalam konteks ke-Aceh-an baru.

Paparan di atas merupakan pengingkaran sejarah bangsa Aceh terhadap apa yang sudah dibangun oleh para pendahulu ternyata disia-siakan. Dalam hal ini, ada pendapat yang menyebutkan mereka (para indatu kita) telah berjuang dan berkarya dengan baik sesuai dengan masanya. Kita dihentikan bertepuk tangan atas kejayaan mereka, kita justru dituntut untuk berkarya sendiri.[47] Oleh karenanya tuntutan tersebut harus menjadi jadwal kita semua sebagai generasi gres Aceh.

Dari paparan di atas ada beberapa hal yang sanggup digarisbawahi. Pertama, bahwa usaha bangsa Aceh merupakan kiprah kita semua rakyat Aceh, tanpa kecuali. Oleh lantaran itu, skat-skat perbedaan antara kita seharusnya mulai di kikis. Dengan cara demikian, kajian sejarah di atas, merupakan salah satu pedoman dalam melaksanakan perjuangan.

Kedua, bentuk usaha dengan kesadaran sejarah ialah usaha yang menyeluruh. Maksudnya, usaha bangsa Aceh harus dilaksanakan secara kolektif tanpa ada pengembosan atau pengkhianat. Jika sejarah, membuktikan bahwa bangsa Aceh bisa mengusir penjajah, mengapa kita di era modern tidak bisa berbuat demikian. Dengan perkataan lain, usaha bangsa Aceh harus didefinisikan ulang yaitu usaha bangsa Aceh untuk golongan, kalangan atau demi tanah Rencong. Jika demi kalangan dan golongan, maka hingga kapanpun usaha bangsa Aceh akan tetap mengalami kegagalan. Namun bila usaha demi tanah pertiwi Aceh, maka Insya Allah dukungan akan tiba menyerupai para indatu kita dulu berjuang.

Ketiga, khusus bagi generasi muda ialah bagaimana mempersiapkan Aceh di masa depan bukan malah terjebak pada permasalahan politik yang tidak jelas. Oleh karenanya, pendidikan merupakan salah satu persiapan untuk arah ke sana. Sebab untuk mengharapkan generasi kini berjuang demi Aceh ialah harapan yang berlebihan. Karena, usaha selalu membutuh waktu dan ruang. Mereka tentu telah berjasa dan pada dikala yang sama Aceh juga masih menunggu jasa-jasa kita.

Akhirnya, saran saya kepada kita ialah mari kita membuat sejarah yang akan dibaca oleh cucu kita sebagaimana kita membaca sejarah nenek moyang kita. Sebab walau bagaimanapun sejarah ialah cermin suatu bangsa.


[1]H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961).
[2]Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta: Sinar Harapan, 1987); idem, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh. 1999).
[3]Lee Kam Hing, The Sultanate of Aceh: Relations with the British 1760-1824, (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995).
[4]C. Snouck Hurgronje, Aceh: Rakyat dan budpekerti Istiadatnya, 2 Jilid (Jakarta: INIS, 1997).
[5]Sejauh ini, meskipun bukan peneliti sejarah, penulis telah mengumpulkan beberapa literatur sejarah perihal Aceh yang ditulis oleh banyak sekali pihak. Untuk lebih mendalami dan mengerti sejarah Aceh, maka penulis menganjurkan untuk membaca beberapa karya berikut: Luthfi Auni, ”The Decline of The Islamic Empire of Aceh,” Tesis M.A. McGill University, (1993); Amirul Hadi, ”Aceh and The Portuguese: A Study of the Struggle of Islam in Southeast Asia 1500-1579,” Tesis M.A. McGill University, (1992); M. Hasbi Amiruddin, ”The Response of The Ulama Dayah to the Modernization of Islamic Law in Aceh,” Tesis M.A. McGill University, (1994); Hamdiah Latif, ”Persatuan Ulama Aceh (PUSA): Its Contribution to Educational Reforms in Aceh,” Tesis M.A, McGill University, (1992); Amran Zamzami, Jihad Akbar di Medan Area, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990). Namun cukup umur ini, semenjak pergolakan Aceh, sejarah Aceh juga masih ditulis. Baca misalnya, Al-Chaidar, dkk., Aceh Bersimbah Darah: Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) Di Aceh 1989-1998, (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 1999); Yusra Habib Abdul Ghani, Mengapa Sumatera Menggugat, (Biro Penerangan Acheh-Sumatera National Liberation Front, 2000); Fikar W. Eda dan S. Satya Dharma (peny.), Aceh Menggugat: Sepuluh Tahun Rakyat Aceh di Bawah Tekanan Militer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999); Kaoy Syah dan Lukman Hakiem, Keistimewaan Aceh dalam Lintasan Sejarah: Proses Pembentukan UU No.44/1999, (Jakarta: Pengurus Besar Al-Jami’iyatul Washliyah, 2000).
[6]Kasus kongkret ialah apa yang dialami oleh bangsa Indonesia, berdasarkan Asvi Warman Adam, pada masa awal Orde Baru, taktik pengendalian sejarah meliputi dua hal: pertama, mereduksi kiprah Soekarno, dan kedua, membesar-besarkan jasa Soeharto. Lihat Asvi Warman Adam, ”Pengendalian Sejarah Sejak Orde Baru,” dalam Henri Chambert-loir dan Hasan Muarif Ambary (ed.), Panggung Sejarah: Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), 572.
[7]Taufik Abdullah, Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1996), 161.
[8]Asvi Warman Adam, Pengendalian Sejarah, 576.
[9]Sejauh pengetahuan penulis, pendekatan sejarah sering dipakai oleh Gerakan Acheh Merdeka dalam mensosialisasikan program-programnya. Lihat contohnya Tengku Hasan di Tiro,”Perkara & Alasan Perdjuangan Angkatan Atjèh Sumatera Merdéka”, Tjeramah :Dimuka Scandinavian Association of Southeast Asian Social Studies Göteborg, Sweden, 23 Agustus, 1985. Untuk membuktikan perkiraan ini, penulis mengutip sepenggal ceramah Hasan Di Tiro,” Lama sekali sebelum kedatangan pendjadjahan2 Eropa Barat ke Dunia Melaju (Asia Tenggara) Atjeh sudah mendjadi satu negara merdeka jang berdaulat jang diakui dunia internasional di Sumatera. Pada waktu itu negara merdeka itu lebih populer dengan nama Keradjaan Atjeh, tetapi kemudian mendjadi lebih populer dengan nama sebuah pelabuhannja jang sering dikundjungi oleh kapal-kapal Eropa, jaitu pelabuhan ‘Samudra’ di Atjeh Utara, jang dari padanja berasal nama Sumatera. Buku Larouse Grand Dictionnaire Universelle, menggambarkan Keradjaan Atjeh pada waktu itu sebagai "bangsa jang paling berkuasa di Dunia Melaju atau Hindia Timur, pada achir kala ke-16 dan hingga pertengahan kala ke-17. ("Vers la fin du XVIe siècle et jusqu’ à la moitië du XVIIe, les Achins etaient la nation dominante de l’archipel Indien.") Vol.I, p.70, Paris, 1886. Sebuah sumber sedjarah jang besar jang lain, La Grand Encyclopedie, menulis sebagai berikut: "Pada tahun 1582, bansa Atjeh sudah meluaskan kekuasaannja atas pulau2 Sunda (Sumatera, Djawa, Borneo, dll), atas satu potongan dari semenandjung Tanah Melaju, dan mempunjai kekerabatan dengan segala bangsa jang melajari lautan Hindia, dari Djepang hingga ke Arab. Sedjarah peperangan jang usang sekali jang dilantjarkan oleh bangsa Atjeh terhadap bangsa Portugis jang menduduki Malaka sedjak permulaan kala ke-16, ialah halaman2 jang tidak kurang kemegahan dan kebesarannya dalam sedjarah bangsa Atjeh. Pada tahun 1586, seorang Sultan Atjeh menjerang Portugis di Malaka dengan sebuah armada yang tediri dari 500 buah kapal perang dan 60,000 tentera laut." ("En 1582, ils avaint étandu leur Malacca depuis le commentcement du XVIe siècle n’est pas une des pages les moins prépondérance sur les iles de la Sonde, sur une partie de la Presque ‘ile de Malacca, ils étaient en relation avec tous les pays que baigne l’océan Indien depuis le Japan jusqu´ à glorieuse de l’ histoire des Atchinois. En 1586, un de leur Sultans attaque les Portugais avec une flotte d’ environ 500 voiles montée par 60,000 marins." (Vol.IV,p.402, Paris,1874)”. Lihat juga “Pernjataan Atjeh Sumatera Merdeka Kembali,” oleh Tengku Hasan di Tiro, 4 Desember, 1976, dimuat dalam AGAM: Madjallah Angkatan Atjeh Meurdehka, No.40 (1991), 72-74; idem,”Nasionalisme Indonesia,” Suara Acheh Merdeka, edisi VI Desember (1995), 22-23. Tulisan ini kembali dimuat dalam Yusra Habib Abdul Ghani, Mengapa Sumatera Menggugat, 42-52. Lebih dari itu, Tengku Hasan Di Tiro, konon berdasarkan kabar tersiar ialah Wali Negara Acheh Merdeka. Dia menentukan dirinya sendiri sebagai wali negara. Berikut petikan salah satu goresan pena Hasan Di Tiro, ”Saya telah menanda-tangani Surat Pernyataan Acheh/Sumatera Merdeka sebagai Negara Sambungan atas kelegalan Hak Successor State lantaran pada waktu ini saya yang berhak (bertugas) sebagai Wali Negara Acheh sebagai Tengku Tjhik di Tiro menggantikan (cetak miring dari penulis) Yang Mulia Nenekanda Tengku Tjhik Mahyeddin dan Pamanda Tengku Tjhik Ma’at, yang gugur pada 3 Desember, 1991, dalam perang dengan Belanda.” Lihat Tengku Hasan Di Tiro,”Konsep-Konsep Ideologi Acheh Merdeka,” Suara Acheh Merdeka, (1995), 34. Untuk mengetahui latarbelakang mengapa Hasan di Tiro mendirikan organisasi Acheh Merdeka, baca Tengku Hasan di Tiro, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan di Tiro, (National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984).
[10]Penting dicatat bahwa pada dikala kekuatan-kekuatan imperialis Barat telah mematahkan kekuatan sebagian besar negara-negara Islam, pada dikala itulah, pada permulaan kala XVI, lahirlah “Lima Besar Islam” yang terikat dalam suatu kerjasama ekonomi, politik, militer dan kebudayaan. Lima Besar Islam yang dimaksud yaitu: 1. Kerajaan Turki Usmaniyah, yang berpusat di Istambul, 2. Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, 3. Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, 4. Kerajaan Akra di India, 5. Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. Baca, Ali Hasjmy,”Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan,” dalam Ismail Suni (ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, 208.
[11]Asal kata Peureulak berdasarkan Ali Hasjmy ialah sebagai berikut: di satu daerah di wilayah Aceh Timur sekarang, banyak sekali tumbuh kayu besar, yang berjulukan “Kayei Peureulak” (Kayu Perlak), bahkan telah merupakan “Rimba Peureulak”. Kayei tersebut sangat baik untuk materi pembuatan perahu, kapal, sehingga banyak dibeli oleh perusahaan-perusahaan kapal/perahu.… Kemudian para pengembara/pedagang sebelum “Zaman Islam” yang tiba dari Cina, Arab, Persia, Hindi, Italia, Portugis dan lain-lainnya melalui Selat Melaka dan singgah di Pelabuhan daerah Kayei Peureulak, terus menyebut pelabuhan yang mereka singgahi itu dengan “Bandar Perlak”. Lihat A. Hasjmy, ”Adakah Kerajaan Islam Perlak Negara Islam Pertama di Asia Tengara,” dalam A. Hasymy (ed.), Sejarah Masuk....


Semoga Bermanfaat...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel