Tragedi Michael Servetus Dan Terbelenggunya Sain
September 27, 2019
Edit
Michael Servetus 1511-1553
Iman atau bagaimana iman itu ditafsirkan terkadang bukan lagi sebuah cahaya lampu yang menemani kita dalam perjalanan mencari; ia menjadi pengecap api, yang menyala, membakar, kuat, kuasa, gagah, tapi juga pongah, terutama saat masa terasa gelap.
Seperti di sebuah hari ekspresi dominan gugur di tahun 1553. Michael Servetus, spesialis agama asal Spanyol, dieksekusi mati di bukit Champel, di selatan Kota Jenewa. Ia diikat ke sebuah tiang, dan dibakar pelan-pelan. Ia tewas kesakitan dengan jangat yang jadi hitam, hangus.
Apa salahnya? Ia menulis buku, ia menulis surat, ia berpendapat. Tetapi ia punya kesimpulannya sendiri wacana Tuhan, dan lantaran itu mengusik para penjaga iman Protestan di Jenewa, kota yang telah jadi sebuah teokrasi yang lebih keras ketimbang Roma.
Adalah Jean Calvin sendiri yang menyeret Servetus ke dalam api. Pelopor dahsyat dari Protestantisme itulah yang memimpin Jenewa ke suatu masa saat iman sama artinya dengan ketidaksabaran.
Servetus sesungguhnya hanya salah satu bunyi yang mengguncang, di zaman saat akidah retak-retak menyerupai katedral bau tanah yang digocoh gempa. Ia lahir di Villanueva, Spanyol, mungkin di tahun 1511. Ia bermula berguru ilmu aturan di Toulouse, Prancis. Di sini ia menemukan Alkitab/Bible, yang ia baca "seribu kali" dengan haru. Tapi kabarnya ia juga membaca al-Qur'an dan terpengaruh oleh Yudaisme, dan lantaran itu ia sangat mewaspadai akidah Trinitas. Marin Luther menjulukinya "Si Arab".
Di tahun 1531 ia menerbitkan bukunya, De Trinitatis erroribus libri vii. Konon ia mengemukakan bahwa inilah arti Yesus sebagai "Putra Allah": Tuhan Bapa mengembuskan Logos ke dalam dirinya, tapi Sang Putra tak setara dengan Sang Bapa. Seperti dikutip oleh Will Drant dalam jilid ke-6 The Story of Civilization, bagi Servetus, Yesus "dikirim oleh Sang Bapa dengan cara yang tak berbeda menyerupai salah seorang Nabi".
Ditulis dalam usia 20-an tahun, dengan bahasa Latin yang masih kaku, buku itu cukup menciptakan amarah para imam Nasrani dan pemimpin Protestan sekaligus, di tengah suhu panas (dan berdarah) yang menguasai mereka. Di tahun 1532, Servetus pun buru-buru pindah ke Prancis.
Tapi di sana ia dihadang. Badan Inkuisisi Gereja Nasrani yang bertugas memeriksa lurus atau tidaknya iman seseorang, dengan cara menginterogasinya dan jikalau perlu menyiksanya -- mengeluarkan surat perintah penangkapan. Servetus lari lagi hingga Wina, dengan nama samaran Michel de Villeneuve. Selama itu ia berhasil menguasai ilmu kedokteran, tetapi ia toh selalu ingin mengemukakan pendapatnya wacana agama.
Di tahun 1546 ia menuntaskan Christianismi Restitutio, dan mengirim naskahnya ke Calvin. Mungkin ia ingin menunjukkan oposisinya terhadap tafsir Calvin atas injil. Bagi Servetus, Tuhan tak menakdirkan sukma insan ke neraka. Baginya, Tuhan tak menghukum orang yang tak menghukum dirinya sendiri. Iman itu baik, tetapi Cinta Kasih lebih baik.
Calvin, yang memandang Tuhan menyerupai yang tergambar dalam Perjanjian Lama - menakutkan dan penghukum -- tak melayani Servetus. Ia hanya mengirimkan karyanya, Christianae religionis institutio. Servetus pun mengembalikannya dengan disertai catatan yang penuh hinaan, disusul dengan serangkaian surat yang mencemooh:
"Bagimu insan yaitu kopor yang tak bergerak, dan Tuhan hanya sebuah gagasan ganjil dari kemauan yang diperbudak". Calvin tak sanggup memaafkan cercaan ini.
Calvin pula, lewat orang lain, yang memberitahu padri inkuisitor di Prancis wacana daerah bersembunyi Servetus. Kerja sama Protestan-Katolik yang tak lazim ini yang hasilnya menciptakan Servetus tertangkap di Wina. Ia memang berhasil melarikan diri. Tapi nasibnya sudah diputuskan: pengadilan sipil Wina, dengan napas Gereja Katolik, memvonisnya dengan sanksi bakar bila tertangkap.
Anehnya ia lari ke Jenewa, daerah Calvin berkuasa. Mungkin Servetus berpikir bahwa orang protestan, yang di Prancis dianiaya lantaran berbeda keyakinan, akan lebih toleran di kota itu. Tapi tidak. Mereka membakarnya.
Calvin kemudian membela kekejaman di bukit Champel itu dengan sebuah argumen yang kita kenal: Aku beriman kepada Kitab Suci, maka akulah yang tahu kebenaran itu. Yang tak sama dengan saya yaitu musuh ajaran, musuh Tuhan, harus ditiadakan.
Argumen dengan api itu masih sanggup kita dengar kini, dalam pelbagai versinya, dalam pelbagai agama, meskipun di tahun 1903, menyerupai sebuah sesal, sebuah monumen untuk Servetus dibangun di bukit Champel. Salah satu donaturnya: gereja Protestan yang dulu dipimpin Calvin. Tampaknya insan sudah lebih sadar wacana kerumitannya sendiri, sedikit.
(dari Catatan Pinggir jilid 4 oleh Goenawan Mohamad-Wartawan Tempo)