Sang Bangau Dan Kera
Agustus 20, 2019
Edit
Sang bangau punya kaki dan leher yang panjang. Sayapnya besar lengan berkuasa dan lebar sehingga ia bisa terbang tinggi dan jauh. Makanan kesukaannya ialah kodok. Selain itu ia suka belalang, ulat pohon, dan bekicot. Sang bangau erat dengan sang kera. Sang bangau sering membantu mencari kutu sang kera. Jika bepergian jauh, sang bangau biasanya menerbangkan sang kera. Akan tetapi, sang monyet yang licik dan khianat selalu ingin enaknya saja.
Pernah sang monyet minta tolong sang bangau untuk menangkap ikan di sebuah kolam. Sementara sang bangau bekerja, sang monyet makan hingga kenyang. Setelah selesai, sang bangau hanya menerima penggalan sedikit, sebab sebagian telah disembunyikan terlebih dulu oleh sang kera. Atas perlakuan yang demikian, sang bangau sudah tentu sakit hati. Namun tidak hingga memutuskan hubungan. Mereka tampak rukun-rukun saja. Sampai pada suatu hari sang monyet ingin menipu sang bangau lagi. Sang monyet ingin pergi ke Pulau Medang yang populer buah sawonya. Tetapi bagaimana caranya untuk bisa ke sana sebab monyet yakin tidak ada satu pun dari temannya yang mau meminjamkan bahtera kepadanya. Satu-satunya impian ialah sang bangau. Ia mencari logika bagaimana biar sang bangau mau menerbangkannya ke Pulau Medang.
Pada ketika kelaparan melanda warga bangau, diajaklah sang bangau pergi ke Pulau Medang. Sang monyet bercerita bahwa di Pulau Medang niscaya terdapat kodok yang banyak, sebab pulau itu tidak berpenghuni. Tanpa curiga sedikit pun, sang bangau tidak menolak anjuran sang kera. Maka, ditentukanlah hari keberangkatan mereka. Keduanya berangkat dengan penuh impian memperoleh kehidupan yang layak di pulau seberang. “Bangau sahabatku,” kata sang kera. “Sesampai di Medang nanti saya akan menciptakan bahtera dari tanah liat”. “Apakah monyet kini sudah begitu akil sehingga bisa membikin perahu?” tanya sang bangau dengan nada tak percaya.
“Sudah usang saya pergi ke negeri orang-orang akil berguru menciptakan perahu. Sekarang saya gres bisa menciptakan bahtera dari tanah liat”, jawab sang kera. “Yang Penting, sang bangau harus membantu saya mengumpulkan tanah liatnya,” lanjut sang kera.
Sesuai dengan kesepakatan, pada suatu hari sang bangau berangkat menerbangkan sang monyet menuju Medang pulau harapan. Setelah beberapa ketika terbang, tampaklah dari kejauhan Pulau Medang yang menghijau. Di atas punggung sang bangau, sang monyet telah membayangkan buah-buah sawo yang harum baunya dan elok rasanya. Sang monyet menyuruh sang bangau terbang lebih cepat. Namun, apa daya. Sang bangau kecapaian, tidak bisa terbang lebih cepat lagi. Apalagi sang monyet terus-menerus mengajak bercakap-cakap sambil duduk yummy di atas punggung sang bangau. Dengan sisa tenaga yang ada, balasannya mereka hingga ke Pulau Medang. Dengan napas terengah-engah sang bangau mendarat dengan selamat. Mereka beristirahat sebentar menikmati pemandangan indah di pulau yang sunyi itu.
Sementara sang bangau masih kelelahan sehabis terbang dengan beban badan sang monyet yang berat. Sang monyet sudah berada di atas pohon sawo dengan wajah berseri. Ia melompat dari pohon sawo yang satu ke pohon sawo yang lain. Mulutnya mengunyah buah-buah sawo yang masak tanpa berhenti. Kodok yang diperkirakan melimpah ruah tidak ada seekor pun. Terpaksa sang bangau hanya berbaring melepaskan lelah. Sesekal, ia menangkap kepiting kecil yang lewat di dekatnya. Namun, sebab sang bangau tidak biasa makan kepiting, perutnya terasa agak mual. Sementara itu, sang monyet telah tertidur di atas pohon. Perutnya tampak membiru tanda kekenyangan.
Setelah sang monyet bangun, berkatalah sang bangau, “Sang kera, Anda telah kenyang di sini. Makanan berlimpah. Kodok dan belalang yang Anda janjikan tidak ada di sini. Oleh sebab itu, saya mustahil tingggal di sini. Saya akan kembali ke kampung halamanku. Dengan buah sawo yang berlimpah di sini, anda bisa hidup tujuh turunan. Oleh sebab itu, besok saya akan pulang. Saya akan menceriterakan kepada warga monyet perihal hutan sawo mu.
“Jangan begitu,” kata sang kera. “Mana mungkin saya hidup sendirian di sini.”
“Tetapi saya mustahil hidup di tempat tanpa kodok menyerupai ini,” jawab sang bangau agak jengkel.
“Kalau begitu baiklah. Mari terbangkan saya pulang ke kampung bersamamu,” ujar sang kera. “Maaf sang kera, sayapku belum begitu pulih untuk bisa terbang dengan beban tubuhmu. Jangankan terbang dengan sang kera. Terbang sendiri pun belum tentu kuat.”
“Kalau begitu kita tunggu saja hingga Anda pulih kembali kekuatannya.” Sang bangau menjawab, “Mana mungkin saya harus menunggu. Apa yang harus saya makan? Apa saya harus mati kelaparan di sini sementara kau punya buah sawo yang berlimpah? Saya kira kau sanggup pulang sendiri dengan perahu. Kamu sanggup menciptakan bahtera kan.”
Sang monyet tertunduk malu. la ingat akan kebohongannya. Sebenarnya ia hanya punya sedikit keahlian menciptakan perahu. Namun, sebab malunya kepada sang bangau, ia berkata, “Kalau begitu bantulah saya mencari tanah liat. Nanti saya yang menempanya.”
Singkat cerita, bahtera itu sudah jadi. Mereka mendorong ke tengah lautan, dan berangkatlah mereka berdua. Sang monyet naik bahtera dengan perasaan takut sekali.
Sesekali, bahtera itu diterjang ombak. Wajah sang monyet menjadi pucat. Sebaliknya, sang bangau selalu bernyanyi: “Curcur humat, curcur hurnat, bila hancur saya selamat, bila hancur saya selamat.”
Tentu saja sang bangau sanggup terbang kalau bahtera itu hancur diterpa ombak. Kemungkinan untuk hancur memang ada, sebab bahtera itu hanya dibentuk dari tanah liat oleh monyet yang tidak ahli.
Sementara itu, mereka telah berlayar jauh ke tengah lautan. Pulau Sumbawa sebagai kampung halamannya telah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba tornado bertiup dengan kencang. Hujan pun turun dengan lebat. Ombak lautan bergulung-gulung menerpa bahtera mereka. Dalam waktu yang singkat, bahtera itu pecah berantakan. Sang bangau segera terbang, sedangkan sang monyet dengan susah payah mencoba berenang. Namun, tubuhnya yang kecil tidak bisa melawan derasnya arus dan besarnya gelombang lautan yang kian mengganas. Akhirnya, sang monyet mati ditelan ombak lautan.
Lautan hening kembali. Nun di atas langit tampak sang bangau terbang dengan hening menuju kampung halamannya.
Sementara itu, mereka telah berlayar jauh ke tengah lautan. Pulau Sumbawa sebagai kampung halamannya telah tampak dari kejauhan. Tiba-tiba tornado bertiup dengan kencang. Hujan pun turun dengan lebat. Ombak lautan bergulung-gulung menerpa bahtera mereka. Dalam waktu yang singkat, bahtera itu pecah berantakan. Sang bangau segera terbang, sedangkan sang monyet dengan susah payah mencoba berenang. Namun, tubuhnya yang kecil tidak bisa melawan derasnya arus dan besarnya gelombang lautan yang kian mengganas. Akhirnya, sang monyet mati ditelan ombak lautan.
Lautan hening kembali. Nun di atas langit tampak sang bangau terbang dengan hening menuju kampung halamannya.
--o0o--