Saksi Bisu Masjid Bani Salamah, Masjid Dua Kiblat
September 29, 2019
Edit
Masjid Qiblatain di Madinah
Dahulu kiblat ditetapkan menghadap Masjidil Aqsa.
Kota Madinah memiliki bermacam-macam daerah sejarah yang sayang jikalau dilewatkan. Selain Masjid Nabawi dan Masjid Quba, ada sebuah masjid lagi yang cukup unik dan lekat dengan sejarah Islam. Masjid tersebut adalah Masjid Qiblatain.
Masjid Qiblatain berada di Jalan Khalid bin Al Walid, barat maritim Kota Madinah. Letaknya di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di bersahabat Istana Raja menuju ke jurusan Wadi Aqiq. Masjid ini ada di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, sekitar tujuh kilometer dari Masjid Nabawi.
Masjid tersebut awalnya berjulukan Masjid Bani Salamah sebab dibangun di atas bekas rumah Bani Salamah. Namun, sebab ada insiden yang sangat bersejarah, yaitu turunnya wahyu untuk shalat menghadap kiblat Masjidil Haram, nama masjid ini diubah menjadi Qiblatain yang berarti dua kiblat. Masjid tersebut menjadi saksi bisu pemindahan kiblat tersebut.
Dulu, kiblat shalat untuk semua nabi yaitu Baitullah di Makkah. Seperti yang tercantum dalam Quran surah Ali Imran ayat 96, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk daerah beribadah insan ialah Baitullah di Mekah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Kemudian, ketika Rasulullah berada di Madinah, kiblat selanjutnya ditetapkan di Al Quds atau Masjidil Aqsha yang ada di Palestina dengan mengarah ke utara. Saat penentuan kiblat di Al Quds ini, umat Islam sama dengan umat dari kaum lainnya, yaitu Kristen dan Yahudi yang memusatkan ibadah di Palestina.
Rasulullah SAW pun sering mendapat cemoohan dari kaum tersebut. Mereka menyebut agama Islam yang dibawanya hanya mengekor dari anutan nenek moyang kaum mereka. Dengan kesabaran dan lapang hati, Rasulullah menanggapinya dengan membisu namun selalu berdoa biar diberikan petunjuk oleh Allah.
Doa Sang Rasul pun terjawab. Saat menunaikan shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah ini, turunlah wahyu untuk memindahkan arah kiblat ke Masjidil Haram di Makkah.
Pada tahun ke-2 Hijriyah, tepatnya pada Senin bulan Rajab, Rasulullah berkunjung ke perkampungan Harrah untuk sekadar bersilaturahim dengan warga Muslim di sana. Ketika memasuki waktu Zhuhur, Rasulullah melakukan shalat di Masjid Salamah.
Dalam buku Ensiklopedi Haji dan Umrah dengan editor Abdul Halim dijelaskan bahwa ketika itu Rasulullah SAW mengimami shalat dengan menghadap ke Masjid Al Aqsha di Palestina. Namun, ketika simpulan rakaat kedua, turunlah wahyu yang memerintahkan untuk mengubah arah kiblat melalui malaikat.
Nabi beserta jamaahnya eksklusif memutar 180 derajat untuk mengikuti kiblat gres tersebut, mengarah ke Masjidil Haram yang berada di selatan. “Shalat Zhuhur ketika itu dilakukan dua rakaat menghadap Masjidil Aqsha dan dua rakaat menghadap Masjidil Haram,” tulisnya.
Wahyu yang turun pada insiden bersejarah itu yaitu surah al-Baqarah ayat 144. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kau ke kiblat yang kau sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kau berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan gotong royong orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu yaitu benar dari Allahnya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Peristiwa penentuan pindahnya kiblat ini juga diperkuat dengan hadis. Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar Radiallahu anhuma, beliau berkata,
Kota Madinah memiliki bermacam-macam daerah sejarah yang sayang jikalau dilewatkan. Selain Masjid Nabawi dan Masjid Quba, ada sebuah masjid lagi yang cukup unik dan lekat dengan sejarah Islam. Masjid tersebut adalah Masjid Qiblatain.
Masjid Qiblatain berada di Jalan Khalid bin Al Walid, barat maritim Kota Madinah. Letaknya di tepi jalan menuju kampus Universitas Madinah di bersahabat Istana Raja menuju ke jurusan Wadi Aqiq. Masjid ini ada di atas bukit kecil di utara Harrah Wabrah, Madinah, sekitar tujuh kilometer dari Masjid Nabawi.
Masjid tersebut awalnya berjulukan Masjid Bani Salamah sebab dibangun di atas bekas rumah Bani Salamah. Namun, sebab ada insiden yang sangat bersejarah, yaitu turunnya wahyu untuk shalat menghadap kiblat Masjidil Haram, nama masjid ini diubah menjadi Qiblatain yang berarti dua kiblat. Masjid tersebut menjadi saksi bisu pemindahan kiblat tersebut.
Dulu, kiblat shalat untuk semua nabi yaitu Baitullah di Makkah. Seperti yang tercantum dalam Quran surah Ali Imran ayat 96, “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk daerah beribadah insan ialah Baitullah di Mekah yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.”
Kemudian, ketika Rasulullah berada di Madinah, kiblat selanjutnya ditetapkan di Al Quds atau Masjidil Aqsha yang ada di Palestina dengan mengarah ke utara. Saat penentuan kiblat di Al Quds ini, umat Islam sama dengan umat dari kaum lainnya, yaitu Kristen dan Yahudi yang memusatkan ibadah di Palestina.
Rasulullah SAW pun sering mendapat cemoohan dari kaum tersebut. Mereka menyebut agama Islam yang dibawanya hanya mengekor dari anutan nenek moyang kaum mereka. Dengan kesabaran dan lapang hati, Rasulullah menanggapinya dengan membisu namun selalu berdoa biar diberikan petunjuk oleh Allah.
Doa Sang Rasul pun terjawab. Saat menunaikan shalat Zhuhur di Masjid Bani Salamah ini, turunlah wahyu untuk memindahkan arah kiblat ke Masjidil Haram di Makkah.
Pada tahun ke-2 Hijriyah, tepatnya pada Senin bulan Rajab, Rasulullah berkunjung ke perkampungan Harrah untuk sekadar bersilaturahim dengan warga Muslim di sana. Ketika memasuki waktu Zhuhur, Rasulullah melakukan shalat di Masjid Salamah.
Dalam buku Ensiklopedi Haji dan Umrah dengan editor Abdul Halim dijelaskan bahwa ketika itu Rasulullah SAW mengimami shalat dengan menghadap ke Masjid Al Aqsha di Palestina. Namun, ketika simpulan rakaat kedua, turunlah wahyu yang memerintahkan untuk mengubah arah kiblat melalui malaikat.
Nabi beserta jamaahnya eksklusif memutar 180 derajat untuk mengikuti kiblat gres tersebut, mengarah ke Masjidil Haram yang berada di selatan. “Shalat Zhuhur ketika itu dilakukan dua rakaat menghadap Masjidil Aqsha dan dua rakaat menghadap Masjidil Haram,” tulisnya.
Wahyu yang turun pada insiden bersejarah itu yaitu surah al-Baqarah ayat 144. “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit maka sungguh Kami akan memalingkan kau ke kiblat yang kau sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kau berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan gotong royong orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu yaitu benar dari Allahnya dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”
Peristiwa penentuan pindahnya kiblat ini juga diperkuat dengan hadis. Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Umar Radiallahu anhuma, beliau berkata,
“Ketika insan sedang di Masjid Quba untuk melakukan shalat Subuh, tiba-tiba tiba seorang sahabat dan berkata bahwa malam ini telah di turunkan Quran kepada Nabi SAW dan sungguh telah diperintahkan untuk menghadap Qiblah, dan dulunya mereka menghadap Syam (Baitil Maqdis), kemudian mereka memutar untuk menghadap Ka’bah.”
Setelah insiden tersebut, otomatis semua kaum Muslim tidak diperbolehkan lagi shalat menghadap Masjidil Aqsha sebab aturan sudah Nusakh. Kiblat arah shalat telah diganti menghadap Masjidil Haram.
Jika ada kaum Muslim yang masih menghadap Masjidil Aqsha, shalatnya tidak sah. Dan, bagi mereka yang sudah mengetahui hukumnya namun tetap menghadap Masjidil Aqsha maka mereka tergolong orang-orang yang ingkar.
Setelah insiden tersebut, otomatis semua kaum Muslim tidak diperbolehkan lagi shalat menghadap Masjidil Aqsha sebab aturan sudah Nusakh. Kiblat arah shalat telah diganti menghadap Masjidil Haram.
Jika ada kaum Muslim yang masih menghadap Masjidil Aqsha, shalatnya tidak sah. Dan, bagi mereka yang sudah mengetahui hukumnya namun tetap menghadap Masjidil Aqsha maka mereka tergolong orang-orang yang ingkar.
--o0o--