Nyai Ratu Kidul Hanya Rekayasa Politik
Juli 23, 2019
Edit
NYAI RATU KIDUL Hanya Rekayasa Politik
Alhamdulillah. Buku sederhana ini dihadirkan untuk membuka cakrawala berpikir dengan mengedepankan kebijaksanaan sebagai anugerah Allah, yang terbukti sanggup mengubah dunia, dari gelap menjadi terang. Upaya buku ini ditulis terutama bertujuan untuk mengimbangi maraknya goresan pena gaib akhir-akhir ini, dan tayangan-tayangan gaib di televisi yang sanggup mempengaruhi pikiran masyarakat ke arah irasionalisme.
Nyai Ratu Kidul sebagai kepercayaan gaib Jawa, sosok penguasa lelembut yang selama ini dipuja. Tentu saja dari banyak sekali sudut pandang hal itu perlu dijernihkan duduk perkaranya. maka semoga gampang dicerna dan dipahami, buku ini tidak ditulis dalam uraian yang teoritik dan panjang lebar. Mudah-mudahan dengan buku yang sederhana ini sanggup membuka wacana berpikir yang lebih rasional, demi membangun peradaban dan martabat insan Indonesia yang selama ini jauh tertinggal dalam hal sains dan teknologi dengan asing, akhir dari terlalu usang berkutat pada hal-hal yang tidak masuk kebijaksanaan (irrasional).
(Surabaya, September 2004, ditulis oleh: Subagyo di Mulyosari).
PENDAHULUAN
Nyai Ratu Kidul yaitu kepercayaan yang masih sangat menempel pada pikiran masyarakat Jawa pada umumnya. Banyak muncul kisah-kisah dalam masyarakat pesisir Laut Selatan Jawa yang dihubunghubungkan dengan kekuasaan penguasa Laut Selatan itu. Bagaimanakah kisah Nyai Ratu Kidul? Apakah Nyai Ratu Kidul benar-benar ada?.
Kepercayaan itu semakin usang mulai semakin ada yang berani membantah, sehabis peradaban Jawa semakin berkembang. Hanya saja kontroversi itu pun rasanya sulit berakhir, alasannya bahkan banyak kalangan intelek di Jawa yang juga penganut loyal gaib kejawen dan klenik.
Sudah sangat usang kita mengalami proses berpikir perihal gaib kejawen yang hasilnya sanggup kita simpulkan hanyalah sebagai sebuah paradigma Jawa kuno yang menjadikan stagnan perkembangan masyarakat. Pemujaan kepada roh-roh dan lelembut yang dilakukan oleh orang Jawa menjadikan terlalu banyaknya tempat yang dianggap keramat, menyita waktu dan biaya yang tidak sedikit, yang tidak memiliki akhir positif terhadap produktivitas masyarakat alasannya hanya membuang-buang waktu dan uang. Atau, masyarakat selalu berada dalam ketakutan untuk melaksanakan pekerjaan mereka secara bebas lantaran takut kutuk ini dan itu. Itulah citra masyarakat tradisional Jawa khususnya, dan di Asia-Afrika pada umumnya hingga dikala ini, kalah jauh perkembangannya dengan dunia Barat yang rasional.
Karena penganut gaib yang masih sangat luas di masyarakat, tidak heran jikalau perusahaan-perusahaan televisi memanfaatkannya dengan suguhan tayangan-tayangan mistik, muncul majalah-majalah dan tabloid mistik, dan hal itu memperoleh sambutan yang begitu luas dari masyarakat Indonesia. Sambutan itu bukan sekedar soal hiburan, tetapi juga lantaran kegemaran dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal mistik.
Saya sebagai penulis buku ini merupakan orang Jawa tulen, lahir di sebuah Desa Banggle, di pedalaman Nganjuk yang di dalam dan sekelilingnya penuh dengan kepercayaan gaib yang tidak terbatas. Ibu dan ayah saya yaitu orang kejawen tulen, secara formal beragama Islam.
Pada waktu usia saya menginjak 5 tahun, kebetulan saya mulai suka ikut-ikutan tidur di sebuah langgar atau mushola yang dibangun oleh Modin di desa kami. Langgar itu dibangun sekitar jaman Gestapu. Jangan dibayangkan bahwa mushola atau langgar tersebut terkesan religius, alasannya di dalamnya juga ada pembicaraan perihal diam-diam isteri 3 para santrinya yang dipergunjingkan, atau pembicaraan perjudian yang menjadi kisah positif atau kelakukan beberapa santri yang dijadikan materi gurauan menjelang tidur, serta pembicaraan perihal kesaktian kyai ini dan kyai itu, jin di pondok pesantren mana dan mana, dan sebagainya.
Saya masih ingat ketika suatu dikala (masih usia SD) sengaja menghitung sandal saya yang hilang di langgar itu, dalam waktu satu bulan kehilangan enam pasang sandal. Dan hilangnya niscaya pada waktu Maghrib, Isya’ dan Subuh. Karena seringnya kehilangan sandal, maka timbullah akal; kalau mau masuk langgar, sandal yang sebelah kiri saya lemparkan ke tempat gelap-gelap, sandal yang sebelah kanan saya sembunyikan di atas genting. Aman!
Tetapi langgar tersebutlah yang menjadi salah satu faktor cikal-bakal keberanian saya untuk tidak tunduk pada perkara-perkara gaib dan tahayul, alasannya dari tempat itu – meskipun tidak diajari perihal bagaimana melawan jin atau lelembut – diberikan dasar-dasar pemikiran agama bahwa insan yaitu makhluk yang paling mulia. Meskipun terdapat banyak kisah para santri perihal jin yang menjaga masjid, kyai yang beristeri jin dan sebagainya, tetapi setidak-tidaknya masih memunculkan wacana bahwa insan bukanlah sub-ordinasi atau tidak terletak di bawah kaum lelembut.
Pada sekitar umur 7 tahun saya mulai mencar ilmu ngaji di langgar tersebut, diajari oleh para santri senior dan guru ngaji (anak Modin waktu itu) yang kini menjadi pemuka agama di desa kami. Saya masih ingat bahwa kultur pembelajaran agama yang berlangsung yaitu sistemnya Nahdlatul Ulama (NU) alasannya memang kelihatannya guru ngaji saya tersebut yaitu alumni pondok pesantren NU yang ada di tempat Nganjuk Selatan. Saya merasa hormat kepada guru ngaji kita yang berjulukan Abdul Haji tersebut. Bersama isterinya, yang juga sama-sama alumnus pondok pesantren, membuatkan agama Islam di desa kami, dengan harus melawan secara halus tradisi gaib dan kejawen di desa kami.
Sedikit demi sedikit perjuangannya membuahkan hasil, dengan semakin banyaknya generasi muda yang mau menjadi anggota langgar, meskipun tidak sesempurna yang diharapkan, alasannya kadang kala tampak bahwa keislaman mereka hanyalah dalam ritualnya. Tradisi gaib kejawen belum sanggup lepas sama sekali dari kehidupan mereka. Mereka masih loyal untuk mengadakan upacara-upacara gaib dalam kegiatan pertanian, perkawinan, khitanan, kelahiran dan sebagainya.
Kebetulan saya sewaktu SD tinggal dengan bapak tiri saya yang merupakan salah satu “orang tua” yang sering dimintai tolong masyarakat di desa kami untuk hal-hal yang sifatnya mistik, menyerupai mencari hari baik untuk acara-acara ritual atau hajatan, mencari letak sumber air sumur, memberi mantera-mantera untuk orang sakit, untuk orang yang memiliki hajatan, menjadi juru petik padi dan lain-lain yang sifatnya merupakan pekerjaan seorang “dukun desa” yang bersifat mistik.
Masa kecil saya pun kenyang dengan makanan-makanan sesajen yang dibawa pulang oleh bapak saya itu, menyerupai ketan, ketupat, telor, pisang dan lain-lain. Dalam satu kali masa panen pun bapak saya sanggup memperoleh rata-rata 10 kwintal gabah kering, pemberian dari orang-orang desa kami yang memakai jasa mistiknya dalam “methik” padi.
Suatu dikala saya pernah dihentikan mengaji di langgar oleh orang bau tanah saya alasannya kelihatannya mereka tidak suka dengan pemikiran Islam. Mereka melontarkan argumen bahwa sesungguhnya para santri itu hanya mencari mitra untuk melawan PKI.
Rupa-rupanya orang bau tanah saya itu mengamati kejadian masa Gestapu, dimana orang-orang Anshor (NU) membunuhi para anggota PKI. Bapak saya bahkan menciptakan ramalan bahwa kelak PKI akan kembali lagi dan menunutut balas kepada para santri. Nasehat dan argumen bapak saya tersebut tidak menciptakan tekad saya surut untuk mengaji. Pada waktu itu pikiran saya sanggup membayangkan kejadian konfrontasi antara santri dengan PKI, dengan imajinasi para santri membawa pedang dan para PKI juga membawa pedang, kemudian mereka bertarung dan para santri berhasil menang. Meskipun dikemudian hari (waktu mahasiswa) saya membaca kisah tersebut benar terjadi dari bukunya Pramoedya Ananta Toer yang dihentikan beredar jaman Orde Baru itu. Judulnya saya lupa.
Kesalahan para santri terletak pada cara biadabnya dalam membunuhi para anggota PKI tanpa melalui Pengadilan. Para santri itu tidak memakai pemikiran Islamnya dalam menghukumi orang PKI yang belum tentu bersalah tersebut. Orang-orang kecil di bawah, selalu menjadi korban pertikaiandi atas. Kehidupan beragama Islam di desa kami juga bercampur-aduk dengan mistik. Modin selalu bertugas sebagai pembaca doa dalam upacara-upacara perkawinan, nyadranan (bersih desa), slametan di kuburan Mbah Krapyak dan lain-lain yang juga mengandung acara-acara mistik. Jadi, dalam acara-acara menyerupai itu dilakukan doa dua versi, doa Islam dan doa mantera mistik.
Kelihatannya memang fakta sinkretik; paganisme (pemberhalaan) berdampingan dengan Islam. Barangkali itu cara yang terpaksa ditempuh Modin alasannya mustahil ia mengecam syirik kepada masyarakat yang melingkari langgarnya. Jika itu dilakukan maka sudah niscaya langgarnya akan dibakar masyarakat. Suatu saat, ada dongeng gaib bahwa dahulu tetangga kami yang berjulukan Pak Jono diganggu oleh dhanyang desa kami yang berjulukan Mbah Krapyak. Mulut Pak Jono penceng konon gara-gara menciptakan perapian di lokasi kuburan Mbah Krapyak. Karena tidak percaya dengan dongeng itu maka saya tiba ke tempat keramat Mbah Krapyak dengan membawa celurit dan berteriak-teriak supaya Mbah Krapyak keluar. Karena Mbah Krapyak tidak keluar-keluar, maka saya membacoki pohon bau tanah gowong yang biasanya dijadikan tempat aben kemenyan dan tempat sesajen untuk Mbah Krapyak. Setelah kelelahan dan tidak bertemu Mbah Krapyak, maka saya pulang.
Di kemudian hari sayapun menemukan tanggapan bahwa Pak Jono yang asimetris tulang dan urat mulutnya itu yaitu sebagai tanda-tanda dari sakit stroke yang memang pada waktu itu masih langka di desa kami. Sejak saya tidak sanggup bertemu dengan Mbah Krapyak yang dipercaya penduduk desa kami sebagai dhanyang (penguasa lelembut) penjaga desa tersebut, saya semakin tidak takut dengan mitos-mitos perihal dhanyang dan sebagainya.
Ketika perbuatan saya yang merusak tempat keramat Mbah Krapyak itu saya ceritakan kepada orang bau tanah saya dan orang-orang lain, mereka tidak berkata apa-apa. Dengan bergurau mereka berkata, “Awas! Nanti malam kau ditemui! Hati-hati!” Namun meskipun gurauan itu tak pernah menjadi kenyataan, praktik klenik dan gaib itu masih tetap berjalan.
Sewaktu mahasiswa saya semakin jauh meninggalkan alam pikiran mistik, sebaliknya orang bau tanah saya masih tetap setia kepada pekerjaannya sebagai praktisi gaib di desa. Sama menyerupai masa kecil dan remaja, saya masih sering bandel bereksperimen untuk melawan kepercayaan masyarakat terhadap penguasa lelembut.
Pernah suatu dikala saya bersama teman-teman pergi ke Pantai Selatan yang ada di pesisir Malang Selatan dan Popoh. Saya pun berteriak-teriak di tempat yang lebih tinggi untuk memanggil Nyai Ratu Kidul, semoga ia sudi menemaniku bernyanyi. Tapi toh ia juga tidak muncul. Pernah juga ketika pergi ke riam Sedudo di Nganjuk, lantaran saking dinginnya maka perapian yang biasa dipakai untuk aben kemenyan – sehabis dukunnya pergi – saya gunakan untuk menghangatkan badan sambil berkata, “Mbah Sedudo, Sampeyan minggir dulu! apinya biar menghangatkan tubuhku!”
Ketika saya berdarmawisata di Bali, ada larangan-larangan tertentu, contohnya tidak boleh memetik bunga ini atau itu, atau tidak boleh menyelempangkan selendang di leher. Tapi saya mencoba melanggarnya, ternyata tidak ada kasus apa-apa. Larangan tersebut bahwasanya bukan kasus mistik, tapi ada logikanya. (sayangnya saya lupa nama-nama tempat wisata yang pernah saya kunjungi sekitar tahun 1995 itu).
Larangan sembarang memetik bunga yaitu semoga tidak terlalu banyak orang merusak keindahan tempat itu, alasannya bunga itu akan lebih indah jikalau berada di pohonnya. Larangan menyelempangkan selendang di leher yaitu lantaran di tempat itu banyak sekali monyet yang bercampur dengan orang-orang. Suatu dikala kera-kera itu sanggup saja bandel dan menarik selendang sehingga jikalau selendang itu diselempangkan di leher akan mungkin menjerat leher si pembawa selendang itu. Saat ini, saya masih prihatin dengan kenyataan bahwa gaib dan klenik masih mendominasi pemikiran masyarakat Jawa. Bukan hanya di Jawa saja. Berdasarkan beberapa perjalanan yang saya lakukan ke Sumatera, Sulawesi dan Bali tersebut keadaannya sama saja. Bahkan di Jawa ini kini pemikiran gaib dan klenik mulai dikembangkan oleh beberapa intelektual penganut mistik.
Keadaan itu ironis sekali dengan pemikiran agama yang dianut masyarakat itu sendiri, yang memperlihatkan pemahaman kepada insan bahwa insan itu makhluk pandai yang diberikan kedudukan sebagai khalifatullah di muka bumi. Yang lebih konyol lagi yaitu dicampur-adukkannya soal gaib dan klenik tersebut dengan akidah. Diformulasikan, seakan-akan ritual memberi sesajen kepada lelembut yaitu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Maka hal itu mengingatkan kita pada sebuah hadits yang melarang perbuatan mencampur-adukkan yang haq dan yang bathil. Artinya, sinkretisme dalam perspektif agama Islam jangan hingga merusak iman dengan jalan menggabungkan atau menyandingkan lelembut dengan Allah, disamping tidak sebanding juga menyalahi filosofi penciptaan insan yang lebih diunggulkan dibanding malaikat, apalagi dengan lelembut. Dalam problem inilah sesungguhnya kecerdasan pemikiran insan diuji. Jika tak sanggup pertanda dengan argumentasi logis, setidak-tidaknya sanggup diukur dengan empirisitas sejarah manusia.
Asia yang telah usang berkutat dan mengandalkan gaib dan klenik toh tidak berkutik melawan kolonialisme Barat dan bahkan hingga kini dengan neo-kolonialisme. Alam pikiran klenik dan gaib Indonesia pun tak berdaya menghadang hegemoni ekonomi, politik dan kebudayaan Barat tersebut. Saat ini kita pun masih menjadi budak kapitalisme dunia,tanpa kita sadari.
Jika seandainya gaib dan klenik sanggup mengalahkan otak (teknologi) maka mungkin Belanda tidak akan sanggup menginjakkan kaki di Indonesia alasannya pelurunya ditangkapi oleh para lelembut yang dimintai santunan pada pejuang penganut mistik. Tapi toh hasilnya yang sanggup mengusir Belanda tidak ditentukan oleh mistik, klenik atau Nyai Ratu Kidul, melainkan usaha intelektual, terencana, terstruktur, serta diplomasi internasional yang rasional dan ulet.
Itulah yang menciptakan kita tergerak untuk menyumbangkan pemikiran, urun rembug, semoga masyarakat tidak berlarut-larut terjebak dalam alam pikiran yang menyesatkan dan menghambat pengembangan kreatifitas ke arah pembangunan. Saya bukan orang yang tak percaya keberadaan lelembut, tapi saya tidak mau dikuasai lelembut, apalagi hingga harus memperlihatkan loyalitas dengan sesajen dan semacamnya.