Apakah Sebelum Adam Terdapat Mahluk Hidup Di Bumi



Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi ?

Sekilas wacana tanya jawab:

Pertanyaan:
Apakah ada hadis dan riwayat yang menyebutkan bahwa Adam ialah orang kedelapan yang hidup di muka bumi? Sembari menjelaskan hal ini, tolong Anda terangkan siapa saja tujuh orang sebelum Nabi Adam itu? Apakah terdapat nabi di antara mereka? Apakah mereka ialah orang-orang pintar?

Jawaban Global:
Pertama: Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh insan yang ada pada masa kini ini ialah berasal dari Nabi Adam dan dialah insan pertama dari generasi ini.

Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan insan yang disebut sebagai “insan atau Nsnas” kendati kita tidak mempunyai informasi yang akurat terkait dengan hal-hal detilnya,  tipologi personal dan model kehidupan mereka.
Karena itu, mungkin saja tatkala penciptaan Adam juga masih terdapat beberapa orang dari generasi sebelumnya sebagaimana sebagian ulama menyebutkan hal ini dalam menjelaskan ijab kabul belum dewasa Adam.

Kami tidak menjumpai teks-teks agama yang tetapkan bahwa Adam ialah insan kedelapan di muka bumi. Benar bahwa terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa generasi Nabi Adam ialah sehabis tujuh periode dan tujuh generasi semenjak penciptaan Adam. Namun boleh jadi riwayat-riwayat ini tengah menyinggung banyaknya periode-periode masa lalu.

Syaikh Shaduq dalam al-Khishâl, meriwayatkan dari Imam Baqir As yang bersabda, “Allah Swt semenjak membuat bumi, membuat tujuh alam yang di dalamnya (kemudian punah) dimana tidak satu pun dari alam-alam ini berasal dari generasi Adam Bapak Manusia dan Allah Swt senantiasa membuat mereka di muka bumi dan mengadakan generasi demi generasi dan alam demi alam muncul hingga akhirnya, membuat Adam Bapak Manusia dan keturunannya berasal darinya.

Adapun terkait dengan pertanyaan apakah mereka juga merupakan nabi atau nabi-nabi dan termasuk sebagai manusia-manusia pandai atau tidak? Kita tidak menemukan klarifikasi wacana hal ini dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat. Namun mengingat bahwa mereka sama dengan kita, insan (atau Nisnas) maka dari sisi ini kita serupa dengan mereka. Dan tentu saja mereka mempunyai kecerdasan dan sangat boleh jadi sanggup dikatakan bahwa untuk membimbing mereka diutuslah nabi atau nabi-nabi kepada mereka.

Jawaban Detil:
Dengan memanfaatkan al-Quran dan riwayat-riwayat secara pasti sanggup dikatakan bahwa sebelum Nabi Adam terdapa generasi atau beberapa generasi yang menyerupai dengan manusia  disebut sebagai “insan atau bangsa Nisnas” meski terkait dengan hal-hal detilnya,  tipologi personal dan model kehidupan mereka, kita tidak mempunyai informasi yang akurat.

Allamah Thabathabai berkata, “Dalam sejarah Yahudi disebutkan bahwa usia jenis insan semenjak diciptakan hingga kini tidak lebih dari tujuh ribu tahun lamanya...namun para ilmuan Geologi meyakini bahwa usia genus insan lebih dari jutaan tahun lamanya. Mereka menyuguhkan sejumlah argumen untuk dari fosil-fosil yang menyebutkan bahwa terdapat peninggalan manusia-manusia pada fosil-fosil tersebut. Di samping itu, mereka juga membeberkan dalil-dalil skeleton (tengkorak) yang telah membatu milik manusia-manusia purbakala yang usianya masing-masing dari fosil dan skeleton itu ditaksir, berdasarkan kriteria-kriteria ilmiah, kira-kira lebih dari lima ratus ribu tahun.

Demikian keyakinan mereka. Namun dalil-dalil yang mereka suguhkan tidak memuaskan. Tidak ada dalil yang sanggup tetapkan bahwa fosil-fosil ini ialah tubuh yang telah membatu milik nenek moyang manusia-manusia hari ini.

Demikian juga tidak ada dalil yang sanggup menolak kemungkinan ini bahwa tengkorak-tengkorak yang telah membatu ini bekerjasama dengan salah satu dari periode manusia-manusia yang hidup di muka bumi, lantaran boleh jadi demikian adanya, dan boleh jadi tidak.

Artinya periode kita manusia-manusia boleh jadi tidak bersambung dengan periode-periode fosil-fosil yang telah disebutkan, bahkan boleh jadi bekerjasama degan manusia-manusia yang hidup di muka bumi sebelum penciptaan Adam Bapak Manusia (Abu al-Basyar) dan kemudian punah.  

Demikian juga kemunculan manusia-manusia yang kepunahannya berulang, hingga sehabis beberapa periode tibalah giliran generasi insan masa kini.

Karena itu, sanggup disimpulkan bahwa terdapat insan sebelum penciptaan Adam dan sehabis insan Adam ditemukan kemudian malaikat ditugaskan untuk sujud kepadanya.

Hanya saja al-Quran tidak menyebutkan secara tegas wacana proses kemunculan insan di muka bumi, apakah kemunculan jenis makhluk ini (manusia) di muka bumi terbatas hanya pada periode kini yang kita hidup di dalamnya, atau periode-periode yang banyak dan periode kita manusia-manusia kini ini merupakan periode terakhir?

Kendati mungkin sebagian ayat al-Quran menengarai bahwa sebelum penciptaan Adam As terdapat manusia-manusia yang hidup dimana para malaikat dengan ingatan pikiran mereka wacana manusia, bertanya kepada Allah Swt, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah”  Qs. Al-Baqarah [2]:30) dimana sanggup disimpulkan dari ayat ini bahwa terdapat masa yang telah berlalu sebelum penciptaan Nabi Adam.

Namun terdapat beberapa riwayat dari para Imam Ahlulbait As yang hingga kepada kita menegaskan bahwa sebelum generasi ini, terdapat generasi-generasi sebelumnya yang telah punah dan riwayat-riwayat ini tetapkan periode-periode insan sebelum periode yang ada kini ini.

Sebagai pola kami akan menyebutkan sebuah hadis berikut ini:
Penyusun Tafsir Ayyasyi meriwayatkan dari Hisyam bin Salim dan Hisyam bin Salim dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Apabila malaikat-malaikat tidak melihat makhluk-makhluk bumi sebelumnya, yang menumpahkan darah lantas dari mana mereka sanggup berkata, “Apakah Engkau akan menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya dan menumpahkan darah?”.

Adapun sehubungan dengan apakah Adam merupakan insan kedelapan di muka bumi ini harus dikatakan bahwa kami tidak menjumpai teks-teks agama yang tetapkan bahwa Adam ialah insan kedelapan di muka bumi. Benar terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa generasi Nabi Adam sehabis tujuh periode dan tujuh generasi semenjak penciptaan Adam.

Namun boleh jadi riwayat-riwayat ini tengah menyinggung banyaknya periode-periode masa lalu. Misalnya Syaikh Shaduq dalam al-Khishâl, meriwayatkan dari Imam Baqir As yang bersabda, “Allah Swt semenjak membuat bumi, membuat tujuh alam yang di dalamnya (kemudian punah) dimana tidak satu pun dari alam-alam ini berasal dari generasi Adam Bapak Manusia dan Allah Swt senantiasa membuat mereka di muka bumi dan mengadakan generasi demi generasi dan masing-masing, alam demi alam muncul hingga akhirnya, (Allah Swt) membuat Adam Bapak Manusia dan keturunannya berasal darinya.

Boleh jadi riwayat-riwayat ini dengan memperhatikan riwayat-riwayat lainya yang tetapkan periode-periode yang banyak pada masa silam, tengah menyinggung wacana banyaknya periode pada masa silam; contohnya Syaikh Shaduq dalam kitab Tauhid mengutip riwayat dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Kalian menerka bahwa Allah Swt tidak membuat insan lain selain kalian. Bahkan (Allah Swt) membuat ribuan ribuan Adam dimana kalian ialah generasi terakhir Adam dari generasi-generasi Adam (lainnya)”.

Demikian juga dalam al-Khisâl diriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda, “Allah Swt membuat dua belas ribu alam yang masing-masing (dari dua belas ribu itu) lebih besar dari tujuh petala langit dan tujuh petala bumi. Tiada satu pun dari penghuni satu alam pernah berpikir bahwa Allah Swt membuat alam lainya selain alam (yang ia huni).”

Akan tetapi sebagaimana yang Anda perhatikan riwayat terakhir menyinggung wacana penciptaan alam-alam dan boleh jadi alam-alam tersebut berada di luar planet bumi dan kita sanggup memandang riwayat-riwayat yang menyebutkan wacana tujuh periode sebelumnya di muka bumi itu tidak bertentangan satu sama lain.

Namun (dengan perkiraan adanya manusia-manusia sebelum Adam) apakah tatkala penciptaan Nabi Adam As insan dari generasi manusia-manusia sebelumnya masih tersisa?

Dengan memperhatikan beberapa indikasi bukan tidak mungkin bahwa pada masa penciptaan Adam terdapat orang-orang dari generasi-generasi sebelumnya yang masih tersisa dan tengah mengalami kepunahan. Artinya mereka masih tetap ada (pada masa penciptaan Adam) sebagaimana disebutkan oleh sebagian ulama.

Salah satu ulama kontemporer terkait dengan ijab kabul belum dewasa Adam berkata, “Di sini juga terdapat kemungkinan lain bahwa belum dewasa Adam menikah dengan manusia-manusia yang tersisa dari generasi sebelum Adam lantaran sesuai dengan riwayat Adam bukanlah insan pertama yang hidup di muka bumi.

Penelitian ilmiah insan ketika ini memperlihatkan bahwa gen insan kemungkinan telah hidup di muka bumi semenjak beberapa juta tahun sebelumnya, padahal sejarah kemunculan Adam hingga masa kini ini tidak terlalu usang (kurang lebih 7000 tahun). Karena itu kita harus mendapatkan bahwa sebelum Adam terdapat manusia-manusia lainnya yang hidup di muka bumi yang tatkala kemunculan Adam tengah mengalami kepunahan. Apa halangannnya belum dewasa Adam menikah dengan insan dari salah satu generasi sebelumnya yang masih tersisa?”.

Tentu saja tidak terdapat keraguan bahwa Nabi Adam ialah insan pertama dari generasi yang ada kini ini. Al-Quran nampaknya menegaskan bahwa generasi yang ada kini ini berasal dari ayah dan ibu yang berujung pada satu ayah (bernama Adam) dan satu ibu (yang dalam beberapa riwayat dan Taurat berjulukan Hawa) dan kedua insan ini ialah ayah dan ibu seluruh manusia.

Demikian juga ayat-ayat berikut menyokong makna ini, “Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (air mani).” (Qs. Al-Sajdah [32]:8); “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah ialah menyerupai (penciptaan) Adam. Allah membuat Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, “Jadilah” (seorang manusia) , maka jadilah dia.” (Qs. Ali Imran [3]:59); “(Ingatlah) ketika Tuhan-mu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan membuat insan dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan penciptaannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku; maka hendaklah kau tersungkur dengan bersujud kepadanya.” (Qs. Shad [38]:71 & 72).

Seperti yang Anda saksikan ayat-ayat yang telah dikutip memperlihatkan kesaksian bahwa sunnah Ilahi menjamin lestarinya generasi insan melalui pembuahan sperma namun penciptaan dengan sperma ini terjadi sehabis dua orang dari jenis ini (manusia kini ini) diciptakan dari tanah liat dan Dia membuat Adam kemudian sehabis Adam istrinya yang diciptakan dari tanah liat (dan sehabis mempunyai tubuh dan alat-alat reproduksi, Allah membuat anak-anaknya dengan membuat sperma pada tubuh Adam dan istrinya). Karena itu, tidak terdapat keraguan bahwa generasi insan (sekarang ini) berujung pada Adam dan istrinya berdasarkan bentuk lahir ayat-ayat yang disebutkan di atas.


Adapun pertanyaan berikutnya apakah di antara generasi tersebut terdapat seorang nabi? Apakah mereka juga termasuk orang-orang yang mempunyai intelegensia? Kita tidak menemukan klarifikasi wacana hal ini dalam ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat. Namun mengingat bahwa mereka sama dengan kita, insan (atau Nisnas) maka dari sisi ini kita sama dengan mereka. Dan tentu saja mereka mempunyai intelegensia dan kecerdasan serta sangat boleh jadi sanggup dikatakan bahwa untuk membimbing mereka diutuslah nabi atau nabi-nabi kepada mereka. 


        
Memaknai  TAFSIR AYAT 30 - 33


 وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
[30] Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kau ketahui.


وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ
(31) Dan telah diajarkanNya kepada Adam nama-nama semuanya, kemudian Dia kemukakan semua kepada Malaikat, kemudian Dia berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jikalau ialah kau makhluk-makhluk yang benar.


قَالُوْا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ
(32) Mereka menjawab: Maha Suci Engkau ! Tidak ada penge­tahuanbagi  kami. kecuali yang Engkau ajarkan kepada Kami. Karena sesungguhnya Engkau­lah Yang Maha Tahu, lagi Maha Bijaksana.


قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَّكُمْ إِنِّيْ أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ أَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ
(33) Berkata Dia : Wahai Adam! beritahukanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya! Maka tatkala telah diberi­tahukannya kepada mereka nama-nama itu semua, berfirmanlah Dia : Bukankah telah Aku katakan k e p a d a kamu, bahwa sesungguh­nya Aku lebih mengetahui diam-diam semua langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kau nyatakan dan apa yang kau sembuyikan.


Malaikat Dan Khalifah

Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29 perhatian kita Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kau akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kau Dia hidupkan.Kemudian Dia matikan, sehabis itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal.

Bagaimana kau akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk mendapatkan kedatanganmu di bumi telah disiapkan, bahkan dari amar perintah kepada ketujuh langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa kau diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.

وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيْفَةً 
"Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. " (pangkal ayat 30).


Sebelum kita teruskan menafsirkan ayat ini, terlebih dahulu haruslah dengan segala kerendahan hati dan akidah kita pegang apa yang telah dipimpinkan Tuhan pada ayat yang tiga di permulaan sekali, yaitu wacana percaya kepada yang ghaib.



Tuhan pernah berkenan menceritakan dengan wahyu kepada Malaikat bahwa Tuhan hendak mengangkat seorang khalifah di bumi. Maka terjadilah semacam soal jawab di antara Tuhan dengan Malaikat. bagaimana duduknya dan di mana tempatnya bila waktunya soal jawab itu? Tidaklah layak hendak kita kaji hingga ke sana.


Ada dua macam cara Ulama-ulama ikutan kita menghadapi wahyu mi. Pertama ialah Mazhab Salaf. Mereka mendapatkan informasi wahyu itu dengan tidak bertanya-tanya dan berpanjang soal.

Allah telah berkenan menceritakan dengan wahyu wacana suatu bencana di dalam alam ghaib, dengan kata yang sanggup kita pahamkan, tetapi nalar kita tidak mempunyai daya upaya buat masuk lebih dalam ke dalam arena ghaib itu. Sebab itu kita terima dia dengan sepenuh iman.


Cara yang kedua ialah penafsiran secara Khalaf, yaitu secara Ulama-Ulama yang tiba kemudian. Yaitu digunakan penafsiran-­penafsiran yang masuk akal, tetapi tidak melampaui garis yang layak bagi kita sebagai makhluk.


Berdasar kepada ini, maka Mazhab Khalaf beropini bekerjsama apa yang dihikayatkan Tuhan ini pasti tidak sebagai yang kita pikirkan. Niscaya pertemuan Allah dengan MalaikatNya itu tidak terjadi di satu tempat; lantaran kalau terjadi di satu tempat, tentu bertempatlah Allah Ta'ala. Dan bukanlah Malaikat itu berhadap­-hadapan duduk atau bermuka-muka dengan Allah. Karena kalau demikian tentulah sama kedudukan mereka, rnalaikat sebagai makhluk, Allah sebagai Khaliq.

Menurut penyelidikan perkembangan akidah dan agama dan perbandingannya dengan Filsafat, betapapun modernnya filsafat itu, maka mazhab khalajialah yang lebih menenteramkan iman, dan kesanalah tujuan kepercayaan . Umumnya Filosof yang mukmin penganut mazhab Khalaf, seumparna filosof muslim yang besar Ibnu Rusyd. Demikian majunya dalam alarn filsafat, namun berkenaan dengan soal-soal ghaib, dia menjadi orang Khalaf yang tenteram dengan pendiriannya.

Imam Ghazali, dia berselisih wacana aturan akal. Bagi dia api wajib menghangusi, air membasahi. Tidak mungkin tidak begitu. Tetapi jikalau ditanyakan wacana Nabi Ibrahim a. s. tidak hangus dibakar api, dia menjawab bahwa hal begitu tidaklah kiprah filsafat. Itu ialah daerah iman. "Sebagai Muslim saya percaya,"katanya.

Pelopor Filsafat Modern, yaitu Emmanuel Kant, dalam hal kepercayaan dia seperti penganut dari mazhab Khalaf. Dia pernah berkata : "Betapapun kemajuan saya dalam berpikir, namun saya mengosongkan sesudut dari jiwa saya buat percaya '

Sekarang kita teruskan:
Maka nampaklah di pangkal ayat, Tuhan telah bersabda kepada Malaikat menyatakan rnaksud hendak mengangkat seorang khalifah di bumi ini.

قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ 

"Mereka berkata: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau?

Artinya sehabis Allah menyatakan maksudNya itu, maka Malaikatpun mohon penjelasan, khalifah manakah lagi yang dikehendaki oleh Tuhan hendak menjadikan?.

Di dalam ayat terbayanglah oleh kita bahwa Malaikat, sebagai makhluk Ilahi, yang tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Tuhan, meminta penjelasan, bagaimana agaknya corak khalifah itu ? Apakah tidak mungkin terjadi dengan adanya khalifah, kerusakan yang akan timbul dan penumpahan darahlah yang akan terjadi ? Padahal alam dengan kudrat iradat Allah Ta'ala telah tenteram, lantaran mereka, malaikat, telah diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang patuh, tunduk,taat,dan setia. Bertasbih, bersembahyang mensucikan nama Allah.

Rupanya ada sedikit pengetahuan dari malaikat-malaikat itu bekerjsama yang akan diangkat menjadi khalifah itu ialah satu jenis makhluk. Dalam jalan pendapat malaikat, bilamana jenis makhluk itu telah ramai, mereka akan berebut-rebut kepentingan di antara satu sama lain.

Kepentingan satu orang atau satu golongan bertumbuk dengan satu orang atau satu golongan yang lain, maka beradulah yang keras timbullah kontradiksi dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga pertumpahan darah. Dengan demikian ketenteraman yang telah ada dengan adanya makhluk, malaikat yang patuh, taat dan setia, menjadi hilang.

Pertanyaan dan kemusykilan itu dijawab oleh Tuhan.

قَالَ إِنِّيْ أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ 
"Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kau ketahui. " (ujung ayat 30).

Artinya, dengan-jawaban itu, Allah Ta'ala tidak membantah pendapat dari MalaikatNya, cuma menjelaskan bekerjsama pendapat dan ilmu mereka tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Bukanlah Tuhan memungkiri bahwa kerusakanpun akan timbul dan darahpun akan tertumpah tetapi ada maksud lain yang lebih jauh dari itu, sehingga kerusakan hanyalah sebagai embel-embel saja dan pembangunan dan pertumpahan darah hanyalah satu tingkat perjalanan hidup saja di dalam menuju kesempurnaan.

Dalam tanggapan Tuhan yang dernikian, Malaikatpun menerimalah dengan penuh khusyu dan taat.

Sekarang kita uraikan terlebih dahulu tentang, apa atau siapakah Malaikat itu ?
Malaikat untuk banyak dan Malak untuk satu.
Tuhan menyebut di dalam al-Qur'an wacana adanya makhluk Allah berjulukan Malaikat. Disebutkan pekerjaan atau kiprah mereka, ada yang mencatat amalan makhluk setiap hari, dan mencatat segala ucapan, ada yang membawa wahyu kepada Rasul-rasul dan Nabi-nabi, ada yang menjadi duta-duta (safarah) yang memelihara al-Qur'an, ada yang memikul Arsy Tuhan, ada yang menjaga nirwana dan yang menjaga neraka, dan ada yang siang dan malam berdoa, memuji-muji Allah dan bersujud, dan ada pula yang mendoakan biar makhluk yang taat diberi ampun dosanya oleh Tuhan. Dan banyak lagi yang lain.


Tetapi Allah tidak menyebutkan dari materi apa Malaikat itu dijadikan. Dan tersebut juga bahwa ada Malaikat itu yang menyatakan dirinya, sebagai yang tiba membawakan Ilham kepada Maryam bahwa dia akan diberi putra, atau yang kelihatan oleh Nabi kita Muhammad s.a.w seketika dia mula-mula mendapatkan wahyu. Dan disebut juga ada Malaikat itu yang bersayap, dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat.

Orang-orang di jaman jahiliyah mencoba menggambarkan Malaikat itu sebagai insan dan merekapun memilih jenisnya; yaitu perempuan. Ini dibantah keras oleh al-Qur'an. Maka tidaklah pantas makhluk mistik itu ditentukan kelamin jantan atau betinanya.

Tersebut pula bahwa Malaikat yang tiba membawa wahyu kepada Rasul-rasul itu namanya Jibril, dan disebut juga Ruhul-Arnin, dan disebut juga Ruhul-Qudus. Tetapi insan yang beriman dan Istiqomah (tetap hati) di dalam Iman kepada Allah, juga akan didatangi oleh Malaikat-malaikat, untuk menghilangkan rasa takut dan duka­cita mereka. Dan di dalam peperangan Badar Malaikat itupun datang, hingga 3.000 banyaknya.

Seperti itulah yang tersebut dalam al-Qur'an. Dan dijelaskan pula oleh hadits-hadits bahwa Malaikat-malaikat itu memperlihatkan ide yang baik kepada manusia, dan menjadikan keteguhan semangat dan iman. Sebagai juga tersebut di dalam hadits bahkan di dalam al-­Qur'an sendiri bahwa setan, sebaliknya dari Malaikat, selalu membawa ide jelek dan was-was kepada manusia. Tetapi ketika orang diberi ide baik oleh Malaikat atau was-was jelek oleh setan maka yang mendapatkan ide atau was-was itu bukanlah tubuh kasar, melainkan roh manusia.

Tidaklah ada orang yang nampak dengan matanya seketika Malaikat atau setan tiba memberinya ide atau was-was melainkan masuk pengaruhnya ke dalam jiwa atau perasaan orang itu. Ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi, an-Nasa' i dan Ibnu Hibban, demikian bunyinya :

"Sesungguhnya dari setan ada semacam gangguan kepada anak Adam, dan dari Malaikatpun ada pula. Adapun gangguan setan ialah menjanjikan kejahatan dan mendustakan kebenaran, dan sentuhan Malaikat ialah menjanjikan kebaikan dan mendapatkan kebenaran. Maka siapa yang merasai yang demikian, hendaklah dia mengetahui bahwa masalah itu dari Allah, dan berterima-kasihlah dia kepadaNya. Tetapi kalau didapatnya lain, hendaklah dia berlindung kepada Allah dari setan. (Kemudian dibacanya ayat yang artinya : "Setan menyuruh menjanjikan bangkrut untukmu dan menyuruhmu berbuat yang keji-keji."
Turmidzi menyampaikan hadits ini hasan gharib.

Syaikh Muhammad Abduh seketika menafsirkan ayat ini berkata:

"Sudah menjadi suatu kenyataan bahwa di dalam batin segala yang tercinta ini memang tersembunyi kekuatan-kekuatan besar yang menjadi sendi dari kekuatan dan kerapiannya, yang tidak mungkin dipungkiri sedikitpun oleh orang yang mempergunakan akal. Orang yang tidak beriman kepada wahyu, mungkin keberatan menamainya Malaikat, lantaran itu setanlah menamainya tenaga alam (natuurkrachten) tetapi sudah konkret bahwa mereka tidak sanggup memungkiri dengan nalar sehat akan adanya makhluk itu, yang di dalam agama dinamai Malaikat. Namun hakikatnya hanyalah satu. Adapun orang yang cerdik tidaklah nama-nama itu mendindingnya buat hingga kepada yang dinamai."

Demikianlah sedikit klarifikasi wacana Malaikat. Kemudian kita teruskan lanjutan ayat.
Setelah itu Allah pun rnelanjutkan apa yang telah Dia tentukan, yaitu membuat khalifah itu; itulah Adam.


وَ عَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا 
"Dan telah diajarkanNya kepada Adam nama-namanya semuanya. " (pangkal ayat 31).

Artinya diberilah oleh Allah kepada Adam itu semua ilmu:

ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنْبِئُوْنِيْ بِأَسْمَاءِ هَؤُلاَءِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِيْنَ 
Kemudian Dia kemukakan semuanya kepada Malaikat. kemudian Dia berfirman : Beritakanlah kepadaKu nama-nama itu semua, jikalau ialah kau makhluk­makhluk yang benar.'-
(ujung ayat 31).


Sesudah Adam dijadikan, kepadanya telah diajarkan oleh Tuhan nama-nama yang sanggup dicapai oleh kekuatan manusia, baik dengan pancaindra ataupun dengan nalar semata-mata, semuanya diajarkan kepadanya.

Kemudian 'I'uhan panggillah Malaikat-malaikat itu dan Tuhan tanyakan adakah mereka tahu nama-nama itu ? Jika benar pendapat mereka selama ini bahwa jikalau khalifah itu terjadi akan timbul ancaman kerusakan dan pertumpahan darah, kini cobalah jawab pertanyaan Tuhan : Dapatkah mereka memperlihatkan nama-nama itu ?

قَالُوْا سُبْحَانَكَ لاَ عِلْمَ لَنَا إِلاَّ مَا عَلَّمْتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ 
"Mereka menjawab :Maha Suci Engkau! ? idak ada pengetahuan bagi kami, kecuali apa yang Engkau ajarkan kepada kami. Karena sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Tahu, lagi.Maha bijcakscaraa. " (ayat 32).


Di sini nampak penjawaban Malaikat yang mengakui kekurangan mereka.Tidak ada pada mereka pengetahuan, kecuali apa yang diajarkan Tuhan juga. Mereka memohon ampun dan karunia., menjunjung kesucian Allah bekerjsama pengetahuan mereka tidak lebih daripada apa yang diajarkan juga, lain tidak. Yang mengetahui akan semua hanya Allah. Yang bijaksana membagi-bagikan ilmu kepada barangsiapa yang Dia kehendaki, hanyalah Dia juga.

Sekarang Tuhan menghadapkan pertanyaanNya kepada Adam :


قَالَ يَا آدَمُ أَنبِئْهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ 
"Berkata Dia : Wahai Adam ! Beritakanlah kepada mereka nama-nama itu semuanya. " (pangkal ayat 33)

Oleh Adam titah Tuhan itupun dijunjung. Segala yang ditanyakan Allah dia jawab, dia terangkan semuanya di hadapan Malaikat banyak itu.

فَلَمَّا أَنْبَأَهُمْ بِأَسْمَآئِهِمْ قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَّكُمْ إِنِّيْ أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَ أَعْلَمُ مَا تُبْدُوْنَ وَ مَا كُنْتُمْ تَكْتُمُوْنَ 
"Maka tatkala diberitahukannya kepada mereka nama-nama itu semuanya berfirmanlah Dia : Bukankah telah Aku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku lebih mengetahui diam-diam langit dan bumi, dan lebih Aku ketahui apa yang kau nyatakan dan apa yang kau sembunyikan. " (ujung ayat 33).


Dengan merenung ayat ini, ahli-ahli tafsir dan kerohanian Islam mendapat kesimpulan bekerjsama dengan menjadikan manusia, Allah memperlengkap pernyataan kuasaNya.

Mereka namai tingkat-tingkat alam itu berdasarkan tarafnya masing-masing. Ada alam Malaikat yang disebut Alam Malakut sebagai kekuatan yang tersembunyi pada seluruh yang ada ini.

Ada pula Alam Nabati, yaitu alam tumbuh-tumbuhan yang mempunyai hidup juga, tetapi hidup yang tidak mempunyai kemajuan.

Ada Alam Hayawan, yaitu alam binatang yang hidupnya hanya dengan naluri belaka (instinct, gharizah) dan lain-lain sebagainya.

Maka diciptakan Tuhanlah manusia, yang dinamai oleh setengah orang Alam Insan atau Alam Nasut.

Maka penciptaan Insan itu lainlah dari yang lain. Kalau Malaikat sebagai salah satu kekuatan bersembunyi dan pelaksana tugas-tugas tertentu, dan kalau alam hayawan (hewan) hanya hidup menuruti naluri, maka insan diberi kekuatan lain yang berjulukan akal.

Insan ialah dari adonan tubuh kasar yang terjadi daripada tanah dan nyawa atau roh yang terjadi dalam diam-diam Allah termasuk di dalamnya nalar itu sendiri. Dan nalar itu tidak sekaligus diberikan, tetapi diangsur, sedikit demi sedikit. Mulai lahir ke dunia dia hanya pandai menangis, tetapi kelak, lama- kelamaan, dia akan menjadi sarjana, dia akan menjadi Failasuf, dia akan mengemukakan pendapat-pendapat yang gres wacana diam-diam alam ini.

Bahkan dia akan membongkar diam-diam alam yang masih tersembunyi, untuk menandakan kekayaan Allah. Dan dia akan menjadi Nabi. Tuhan membuat insan menjadi alatNya untuk menyatakan kekuasaanNya yang masih Dia sembunyikan dalam alam ini.

Bukan lantaran Malaikat tidak sanggup berbuat demikian. Tetapi lantaran Tuhan telah memilih kiprah dan ilmu yang tertentu buat Malaikat pula. Takdir Ilahi, sebagaimana diakui oleh tanggapan Malaikat itu ialah Maha Bijaksana.

Untuk itulah insan dijadikan khalifah. Karena kiprah menjadi khalifah itu memang berat, maka insan itupun selalu dipimpin. Oleh lantaran itulah dikirimnya kelak Rasul-rasul dan wahyu, sehingga pantaslah sebagaimana tersebut di dalam Surat al-Qiyamah (Surat 75, ayat 36) :


أَ يَحْسَبُ الْإِنْسانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدىً 
"Apakah insan menyangka bahwa dia akan dibiarkan percuma?" (al-Qiyamah : 36)


Akan dibiarkan menjadi khalifah dengan tidak ada tuntunan ? Dengan demikian bukanlah Tuhan tidak tahu bahwa akan ada kerusakan dan pertumpahan darah, sebagai yang disembahkan oleh Malaikat itu.

Bahkan pengetahuan Malaikat wacana itupun ialah dari Tuhan juga. Tetapi kerusakan tidak akan banyak, jikalau dibandingkan dengan manfaat bagi alam. Dan penumpahan darah pasti akan terjadi juga tetapi bumi akan mengalami perubahan besar lantaran pekerjaan dan perjuangan daripada makhluk yang dilantik menjadi. khalifah ini.

Tentang Khalifah

Arti yang tepat dalam bahasa kita terhadap kalimat khalifah ini hanya sanggup kita ungkapkan sehabis kita kaji apa kiprah khalifah.

1. Seketika Rasulullah s.a.w telah wafat, sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w sependapat mesti ada yang menggantikan dia mengatur masyarakat, mengepalai mereka, yang akan menjalankan hukum, membela yang lemah, memilih perang atau hening dan memimpin mereka semuanya.


Sebab dengan wafatnya Rasulullah, kosonglah jabatan pemimpin itu. Maka sepakatlah mereka mengangkat Saiyidina Abu bakar as-Shiddiq r.a. menjadi pemimpin mereka. Dan mereka gelari dia "Khalifah Rasulullah". 

Tetapi meskipun yang dia gantikan memerintah itu ialah Utusan Allah, namun dia tidaklah pribadi menjadi Nabi atau Rasul pula. Sebab Risalah itu tidaklah sanggup digantikan. Makara di sini sanggup kita artikan Khalifah itu pengganti Rasulullah dalam urusan pemerintahan.

2. Kepada Nabi Daud Allah pernah berfirman:

يا داوُدُ إِنَّا جَعَلْناكَ خَليفَةً فِي الْأَرْضِ 
" Wahai Daud ! Sesungguhnya engkau telah kami jadikan khalifah di bumi. " (Shad: 26)


Ini sanggup diartikan sebagai khalifah Allah sendiri, pengganti atau alat dari Allah buat melakukan aturan Tuhan dalam pemerintahannya. Dan boleh juga diartikan bahwa dia telah ditakdirkan Tuhan menjadi pengganti dari raja-raja dan pemimpin­ pemimpin dan Nabi-nabi Bani Israil yang terdahulu dari padanya.

3.Tetapi ada pula ayat-ayat bahwa anak-cucu atau keturunan yang dibelakang ialah sebagai khalafah atau khalifah dari nenek-moyang yang dahulu (sebagai tersebut dalam Surat Yunus, Surat 10, ayat 14). Demikian juga dalam surat-surat yang lain-lain.

4. Tetapi di dalam surat an-Naml (Surat 27, ayat 62), ditegaskan bahwa seluruh insan ini ialah khalifah di muka bumi ini :


أَمَّنْ يُجيبُ الْمُضْطَرَّ إِذا دَعاهُ وَ يَكْشِفُ السُّوءَ وَ يَجْعَلُكُمْ خُلَفاءَ الْأَرْضِ أَإِلٰهٌ مَعَ اللهِ قَليلاً ما تَذَكَّرُونَ 
"Atau siapakah yang memperkenankan permohonan orang-orang yang ditimpa susah apabila menyeru kepadaNya? Dan yang menghilangkan ke susahan ?Dan yang menjadikan kau Khalifah-khalifah di bumi ?Adakah Tuhan lain beserta Allah ? Sedikit kau yang ingat. "
(an-Naml : 62).


Setelah meninjau sekalian ayat ini dan gelar khalifah bagi Saiyidina Abu bakar, barangkali tidaklah demikian jauh kalau khalifah kita artikan pengganti.

Sekarang timbul pertanyaan : Pengganti dari siapa ?
Ada penafsir menyampaikan pengganti dari jenis makhluk yang telah musnah, sebangsa insan juga, sebelum Adam. Itulah yang akan digantikan:

Ada setengah penafsiran menyampaikan Khalifah dari Allah sendiri. Pengganti Allah sendiri. Sampai-sampai di sini pasti sanggup dipahamkan bahwa mentang-mentang insan dijadikan KhalifahNya oleh Allah, bukanlah berarti, bahwa dia telah berkuasa pula sebagai Allah dan sama kedudukan dengan Allah; bukan ! Sebagaimana juga Abu Bakar sama kedudukan Abu bakar dengan Rasulullah.

Maka jikalau insan menjadi Khalifah Allah, bukan berati insan menjadi sama kedudukan dengan Allah! Maka pengertian pengganti disini harus diberi arti insan diangkat oleh Allah menjadi KhalifahNya. Dengan perintah-perintah tertentu. Dan untuk menghilangkan kemusyrikan dalam hati, kalau hendak dituruti tafsir yang kedua, bahwa insan ialah Khalifah Allah di muka burni, janganlah dia dibahasa Indonesiakan, tetap sajalah dalam bahasa aslinya : Khalifah Allah !

Sekarang kita lanjutkan wacana kedua penafsiran itu.
Pendapat pertama ialah Khalifah dari makhluk dulu-dulu yang telah musnah. Di kala mereka masih ada di dunia, mereka hanya berkelahi, merusak, bunuh-membunuh lantaran berebut hidup. Itulah sebabnya maka Malaikat terkenang akan itu kembali kemudian me­nyampaikan permohonan dan pertanyaan kepada Tuhan, kalau-kalau terjadi demikian pula.

Maka tersebarlah semacam dongeng pusaka bangsa Iran (Persia), yang adakala setengah jago tafsir tidak pula keberatan menukilnya : katanya sebelum Nabi Adam, ada makhluk namanya Hinn dan Binn, ada juga yang menyampaikan namanya ialah Thimm dan Rimm.

Setelah makhluk yang dua itu habis, datanglah makhluk yang berjulukan jin. Semua makhluk itu musnah, lantaran mereka rusak­ merusak, bunuh membunuh. Akhirnya kata dongeng dikirimlah oleh Tuhan balatentaranya, terdiri dari Malaikat-malaikat dan dikepalai oleh Iblis, kemudian makhluk Jin itu diperangi sehingga musnah. Adapun sisa-sisanya lari ke pulau-pulau dan ke lautan. Kemudian barulah Allah membuat Adam.

Dalam setengah kitab tafsir ada juga bertemu keterangan ini, meskipun riwayat ini tidak berasal dari riwayat Islam sendiri.

Tetapi meskipun dia hanya dongeng belaka sudahlah sanggup kita mengambil kesimpulan bahwa pendapat wacana adanya makhluk purbakala yang dikhalifahi oleh Adam itu, bukanlah pendapat kemarin dalam kalangan manusia, melainkan telah tua, beratus tahun sebelurn keluar teori Darwin. Bukankah ahli-ahli pengetahuan menggali ilmu juga dari dongeng ?

Ada lagi pendapat yang sejalan dengan itu, yaitu dari beberapa golongan kaum Shufi dan kaum Syi'ah Imamiyah.

Al-Alusi, pengarang tafsir Ruhul Ma'ani menyampaikan bahwa di dalam kitab Tami'ul Akbar dari orang Syi'ah Imamiyah, pasal 15, ada tersebut bahwa sebelum Allah menjadikan Adam nenek kita, telah ada 30 Adam.

Jarak di antara satu Adam dengan Adam yang lain 1.000 tahun, sehabis Adam yang 30 itu, 50.000 tahun lamanya dunia rusak binasa, kemudian ramai lagi 50.000 tahun barulah dijadikan Allah nenek kita Adam.
Ibnu Buwaihi meriwayatkan di dalam Kitab at Tauhid, riwayat dari Imam Ja'far as-Shadiq dalam satu hadits yang panjang, dia berkata : "Barangkali kau sangka bahwa Allah tidak menjadikan insan (basyar) selain kamu. Bahkan, demi Allah! Dia telah menjadikan 1.000 Adam (Alfu Alfi Adama), dan kamulah yang terakhir dari Adam-adam itu !"

Berkata al-Haitsam pada syarahnya yang besar atas Kitab Nahjul Balaghah: "Dan dinukilkan dari Muhammad al-Baqir bahwa dia berkata : Telah habis sebelum Adam yang Bapak kita 1.000 Adam atau lebih. "Ini semua ialah pendapat dari kalangan Imam- imam Syiah sendiri : Ja'far as-Shadiq dan Muhammad al-Baqir, dua di antara 12 imam Syi'ah Imamiyah.

Kalangan kaum Shufi pun mempunyai pendapat demikian as­ Syaikh al-Akbar Tbnu Arabi berkata dalam kitabnya yang populer al­Futuhat al-Makkiyah, bahwa 40.000 tahun sebelum Adam sudah ada Adam yang lain.

Malahan untuk menjadi catatan, Imam Syi'ah yang besar itu, Ja'far as-Shadiq menyatakan bahwa di samping alam kita ini, Allah telah menjadikan pula 12.000 alam, dan tiap-tiap alam itu lebih besar daripada tujuh langit dan tujuh bumi kita ini.

Di dalam beberapa ranting yang mengenai “kepercayaan” terdapat perbedaan sedikit-sedikit baik dari pihak kita sendiri Ahlus-Sunah  maupun kaum Syi'ah. Tetapi di dalam hal yang mengenai ilmu pengetahuan alam ini, amat sempitlah paham kita kalau sekiranya kita tidak mau memperdulikan, mentang-mentang hal tersebut timbul dari Syi'ah.

Karena hal lkhwal yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan itu ialah universal sifatnya. Yaitu menjadi kepunyaan insan bersama. Apalagi hingga kepada ketika kini ini dan seterusnya, penyelidikan ilmiah wacana alam wacana hidupnya insan di dunia ini tidaklah akan berhenti.


Cobalah cocokan wacana keterangan Imam Ja'far as-Shadiq ini dengan hasil penyelidikan alam yang terakhir, yang menyampaikan bahwa alam cakrawala itu terdiri dari pada berjuta-juta kekeluargaan bintang-bintang masing-masing dengan mataharinya sendiri yang dinamai Galaxi.

Berdasarkan kepada semuanya ini, maka ditafsirkan oleh setengah jago tafsir, bahwa yang dimaksud dengan Adam sebagai Khalifah, ialah Khalifah dari Adam-adam yang telah berlalu itu, yang hingga menyampaikan seribu-ribu (sejuta Adam).

Dan dongeng Iran yang diambil dan dimasukkan ke dalam beberapa tafsir itupun memperlihatkan bahwa dalam kalangan Islam sudah usang ada yang beropini bahwa sebelum insan kita ini sudah ada makhluk dengan Adamnya sendiri terlebih dahulu. Sekarang tidaklah berhenti orang memeriksa hal itu, sehingga karenanya datanglah pendapat secara ilmiah, diantaranya teori darwin, dilanjutkan lagi oleh berpuluh penyelidikan wacana ilmu manusia, pada fosil-fosil yang telah membatu memperlihatkan bahwa 400.000 tahun yang kemudian telah ada insan Peking atau insan Mojokerto.

Adapun al-Qur'an, lantaran dia bukanlah kitab catatan penyelidikan fosil, atau teori Darwin, tidaklah dia membicarakan hal itu. Tidak dia menentang teori itu, malahan menganjurkan orang meluaskan ilmu pengetahuan wacana apa saja, sehingga bertambah yakin akan kebesaran Allah.

Penafsiran yang ke dua ialah Khalifah dari Allah sendiri.
Di antara makhluk sebanyak itu manusialah yang telah dipilih Allah menjadi KhalifahNya, yaitu Adam dan keturunannya. (Lihat Surat an-Naml ayat 62). Demikian kata mereka.

Pada insan itulah Allah menyatakan hukumNya dan peraturanNya; Dia menjadi Khalifah untuk mengatur bumi ini, untuk mengeluarkan diam-diam yang terpendam di dalamnya. Dianugerahkan kepadanya akal. Akal itupun suatu yang abnormal dan ghaib.

Bentuknya tidak nampak, tetapi bekasnyalah yang memperlihatkan bahwa nalar itu ada. Manusia yang ketika mulai lahir lemah tadi, kian usang kian diberi persiapan. Kekuatan yang ada padanya amat luas dan keinginan-tahuan tidak terbatas. Memang kalau sendiri-sendiri dia lemah tidak berdaya. Tetapi kumpulan dari bekas perjuangan orang-seorang itu sanggup mengesan dan membekas pada seluruh bumi.

Dari keturunan demi keturunan insan itu bertambah sanggup menguasai dan mengatur bumi. Telah dikuasainya lautan juga telah diselaminya. Telah terbang dia di udara, telah pandai dia bercakap bersambutan kata, padahal yang seorang di Kutub Utara dan yang seorang di Kutub Selatan. Gunung ditembusinya dan dibuatnya jalan kereta-api di bawahnya. Dan banyak lagi kemungkinan-kemungkinan lain yang akan sanggup dikerjakan dalam bumi, terutama semenjak terbuka diam-diam tenaga Atom dalam era 20 ini.

Memang ilmu yang luas itu tidak diberikan semuanya kepada orang-seorang, dan tidak pula diberikan sekaligus, melainkan dari penyelidikan mereka sendiri. Yang lantaran kesungguhan mereka, diam-diam itu dibukakan dan dibukakan lagi oleh Tuhan.

Jadi dapatlah dipahamkan bekerjsama ayat 31 yang menerangkan bahwa Allah mengajarkan nama-nama kepada Adam, dan seketika ditanyakan kepada Malaikat, Malaikat menyembahkan bahwa pengetahuan mereka hanya terbatas sekedar yang diajarkan Allah kepada mereka (ayat 32), kemudian Adam disuruh menerangkan, maka diapun menerangkanlah semua nama-nama itu.

Dapat ditarik maksud yang dalam wacana keistimewaan yang diberikan Allah kepada manusia, yang kian usang kian dibukakan diam-diam segala nama itu kepada manusia; namun ke-ghaiban semua langit dan bumi masih banyak lagi yang belum diajarkan kepada Malaikat ataupun kepada manusia, sebagaimana yang tersebut pada ujung ayat 33.

Kepada tafsiran yang manapun kita akan cenderung, baik jikalau ditafsirkan bahwa Adam dan keturunannya diangkat jadi Khalifah dari makhluk yang telah musnah, ataupun sebagai Khalifah daripada Allah sendiri, namun isi ayat sebagai lanjutan daripada ayat sebelumnya telah menyingkapkan lagi tabir pemikiran yang lebih luas bagi manusia, biar janganlah mereka kafir terhadap Allah, ingatlah bahwa kedudukannya dalam hidup bukanlah sembarang kedudukan. Janganlah disia-siakan waktu pendek yang digunakan selama hidup di dunia ini.

Demikian besar sanjungan yang diberikan Allah, sangatlah tidak layak kalau insan menjatuhkan dirinya ke dalam kehinaan, di sini disebutkan bahwa dia ialah khalifah. Di waktu yang lain Tuhan katakan bahwa insan telah dijadikan sebaik-baiknya bentuk (Surat
at-Tin 95, ayat 4). Dan dikala yang lain Dia Allah, menyanjung insan itu tinggi sekali derajatnya.

وَ لَقَدْ كَرَّمْنا بَني‏ آدَمَ وَ حَمَلْناهُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَ فَضَّلْناهُمْ عَلى‏ كَثيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنا تَفْضيلاً 

"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri rezeki mereka dengan yang baik-baik, dan sungguh-sungguh Kami lebihkan mereka daripada kebanyakan (makhluk) yang telah Kami jadikan, sebenar-benar dilebihkan. " (al-Isra: 70).

Demikianlah kemulian yang telah dilimpahkan Tuhan kepada manusia, adakah patut kalau insan tidak juga sadar akan dirinya dari hubungannya dengan Tuhannya ?
 


---o0o---

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel