Siapakah Ahlu Sunnah Wal Jama’Ah

Setiap golongan, kelompok, suku dan sekte dalam pemikiran Islam, masing-masing mengklaim bahwa golongan mereka saja yang benar dan sempurna serta kondusif akidahnya. Sekalipun hal itu mereka lakukan dengan sengaja memelesetkan nash-nash (teks) dan lafadz-lafadz hadits demi membenarkan dan membela kaum dan suku masing-masing. Dan sering kita mendengar bahwa keyakinan yang selamat yakni keyakinan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, namun yang menjadi pertanyaan yakni siapakah yang dimaksud sebagai Ahlu Sunnah  itu atau dengan kata lain: Apakah Asy’ariyah & Maturidiyah merupakan pecahan dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Atau Ahlu Sunnah yakni Wahabi atau Salafi saja?.


Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA)
Bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua pecahan yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus.

* Definisi Aswaja Secara umum adalah: suatu kelompok atau golongan yang senantiasa kesepakatan mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat (Tasawwuf dan Akhlaq).

* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah: Golongan yang mempunyai I’tikad/keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah.

Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain yakni merupakan juz dari definisi yang secara umum, lantaran pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah yakni golongan yang kesepakatan berpegang teguh pada aliran Rasul dan para teman dalam hal aqidah. Namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahlus sunnah Wa Al Jamaah hanyalah sekedar memperlihatkan nama juz dengan memakai namanya kulli.

Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan: pada zaman kini kita tidak menemukan satu golongan yang kesepakatan terhadap aliran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah, ghulat, khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam andal fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh pada aqidah Ahli sunnah wal jamaah.

Secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah yakni semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan aliran Rasulullah SAW dan para teman sebagai pijakan aturan baik dalam perkara aqidah, syari’ah dan tasawwuf.


Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya.

Kalimat Sunnah secara etimologi yakni Thoriqoh (jalan) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi :

عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي

Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin sehabis wafatku.

Sedangkan pengertian kalimat Jamaah yakni golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin.

Setiap aliran yang menurut pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan aliran yang sesuai dengan aqidah andal sunnah wal jamaah ibarat : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll.


Sebelum lebih jauh menjelaskan keyakinan Ahlu Sunnah, terlebih dahulu penulis menukil sebuah hadits yang menjadi rebutan bagi semua golongan untuk berada dalam pilihan Rasulullah Saw untuk memenangkan golongan yang selamat yaitu:

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ لُحَيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .

Telah terpecah kaum Yahudi menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; dan telah membagi kaum Nashara menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali satu. Yaitu golongan yang berada dalam jama’ah (Ibnu Majah). Dan riwayat lain “Yaitu orang-orang yang berada pada jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini(Tirmidzi).

Ditemukan dari teks hadits di atas kalimat “al-Jama’ah” yang memperlihatkan sebuah ilustrasi bahwa orang yang selamat yakni orang yang tidak terpecah dan menempuh jalan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw dan para sahabatnya pada waktu itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.


Definisi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah

Setiap golongan, suku, asosiasi dan mazhab mempunyai pendiri atau setidaknya ada yang memulai perjalanan organisasi tersebut, sehingga mempunyai kepala, pemimpin atau direktur, namun Ahlu Sunnah tidak demikian, ia tidak mempunyai pendiri, ketua, pemimpin. Oleh lantaran itu Ahlu Sunnah bukanlah golongan sebuah suku atau golongan tertentu, ibarat suku Asy’ariah, Maturidiyah, Wahabiah, Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan sekte lain yang masing-masing mempunyai pendiri dan kepala dan dikenal khalayak ramai. Melainkan Ahlu Sunnah merupakan satu standar pemahaman, pemikiran agama yang mengandung aspek nilai yang mulia dan murni. Oleh lantaran tidak ada yang bisa jawab wacana siapa pendiri dan pemimipin Ahlu Sunnah, maka ada baiknya kalau kita mulai dengan definisi Ahlu Sunnah itu sendiri.

Dalam bahasa Arab kalimat “Ahlu” berarti keluarga, kerabat, famili, pemilik. Kemudian dalam kamus “Lisan al-Arab”, kata as-Sunnah dari sudut etimologi diartikan sebagai as-Sayr (perjalanan). Baik orang itu berjalan dalam kebajikan, kebaikan atau keburukan. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, as-Sunnah diartikan sebagai: “Pedoman hidup Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Baik berupa ilmu pengetahuan, keyakinan dan kepercayaan (ideologi), kata (ucapan), perbuatan (praktis), dan ajaran-ajaran sunnah tersebut wajib diikuti dan ditaati oleh ummat. Oleh lantaran itu kalau dikatakan bahwa: si fulan yakni pengikut Ahlu Sunnah, berarti ia yakni orang yang mengikuti jalan yang lurus.

Adapun pengertian al-Jama’ah, dalam etimologi diartikan sebagai “Penggabungan sesuatu dengan lainnya”. Sebagaiaman yang disinyalir oleh Ragib al-Asfahani, bahwa al-Jama’ah artinya adalah: “Menghubungkan seseuatu dengan lainnya, maksudnya menghimpunkannya”. Sedangkan dalam pengertian epistemologi, al-Jama’ah yakni salaf al-Ummah.

Difinisi di atas memperlihatkan ilustrasi bahwa yang dimaksud Ahlu Sunnah yakni mereka yang mengikuti cara hidup Rasulullah Saw, para sahabatnya, tabi’in dan siapa saja yang mengikuti mereka, dengan menghindarkan diri dari praktek bid’ah, di sepanjang zaman dan tempat.

Untuk menyimpulkan dari tiga definisi kalimat di atas, sanggup dikatakan dengan gampang bahwa: 

Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yakni mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan sunnah para shahabatnya. Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Ibnul Jauzi, “Tidak diragukan bahwa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah Saw dan para sahabatnya yakni Ahlus Sunnah”. Oleh lantaran itu istilah “Ahlu Sunnah Wal Jama’ah”  adalah kaum terdahulu, yang muncul sebelum adanya mazhab Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah, lantaran ia yakni mazhab para teman yang mendapatkan pribadi ajaran-ajaran keagamaan dari Rasulullah Saw, bagi siapa saja yang menyalahi mazhab dan pendirian sahabat, maka mereka dianggap bid’ah di sisi Ahli Sunnah Wal Jama’ah.


Perlu disebutkan juga bahwa istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah bekerjsama dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat untuk membedakan aliran Islam yang murni, benar, benar dan lurus dari pembawa risalah Islam Rasulullah Saw dari aliran Islam yang sudah terpengaruh dengan beberapa pemikiran-pemikiran menyimpang dan menyeleweng, ibarat arah pemikiran Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij. Sehingga orang-orang yang berpegang teguh dan mengamalkan hakikat aliran Islam yang betul-betul murni tersebut dinamakan “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”. Hal ini dijelaskan dengan tegas oleh Imam Malik ketika ia ditanya: “Siapakah bekerjsama Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqb (julukan) yang sudah terkenal (di masyarakat dikala itu). Makara Ahlu Sunnah bukanlah Jahmiyah, Qadariyah, dan Syi’ah“.

Sekalipun sudah terperinci pendefinisian Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang disebutkan, namun dalam kenyataannya ulama masih juga berbeda pendapat wacana siapakah bekerjsama dari golongan Islam yang berhak menjadi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Oleh lantaran itu diskusi istilah ini sangat luas pemakaiannya, dan tidak henti-hentinya dibahas dan diangkat menjadi persoalan. bahkan Ibnu Taimiyah terkadang hanya menyebutkan “Ahlu Sunnah” saja, tanpa diiringi dengan sebutan “al-Jama’ah”. Hal ini dilakukan oleh Ibnu Taimiyah dengan maksud untuk membedakan antara Islam Sunni dengan Islam Syi’ah. 

Jadi sebutan Ahlu sunnah tanpa menyebut al-Jama’ah, dimaksudkan untuk semua golongan Islam yang mengatur dan mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Oleh lantaran itu dalam hal ini golongan seperti, Asy’ariah dan Maturidiyah yakni golongan Ahlu Sunnah. Ini bagi Ibnu Taimiyah yakni pengertian secara umum.

Adapun secara pengertian khusus (spesifik), Ahlu Sunnah yang dimaksud hanya terbatas kepada Ahlu Hadits dan Sunnah, yaitu bagi mereka yang mengakui sifat-sifat Allah Swt secara harfiah tanpa dita’wilkan, mereka meyakini bahwa al-Qur’an yakni Kalamullah bukan makhluk, percaya takdir dan persoalan-persoalan keyakinan lainnya.

Berdasarkan dua pengertian di atas, maka kita sanggup menyimpulkan bahwa Ibnu Taimiyah mengkhususkan istilah Ahlu Sunnah kepada ulama Salaf. Namun ia tidak membatasi julukan Ahlu Sunnah hanya kepada mereka. Akan tetapi ia memperlihatkan kesempatan kepada golongan dan suku lainnya berhubungan dalam lingkup Ahlu Sunnah, ibarat golongan, Asy’ariyah, Maturidiyah dan Zhahiriyah yang ikut membantah aliran Islam Syi’ah. Adapun kaum Mu’tazilah dan Khawarij bagi Ibnu Taimiyah tidak berhak digolongkan dan dijuluki sebagai Ahlu Sunnah, lantaran mereka menyampaikan al-Qur’an makhluk (Haadits), Allah tidak sanggup dilihat di alam abadi dengan mata kepala, melainkan dilihat dengan mata hati saja, dan perkara keyakinan lainnya.

Selain itu, pada masa kontemporer dikala ini gerakan Wahabi tidak mengakui kaum Asy’ariah dan Maturidiyah sebagai Ahlu Sunnah, lantaran kedua golongan tersebut menta’wilkan sifat-sifat Allah Swt. Ini suatu persolan lain, yang seharusnya tidak diajukan dalam waktu ini, lantaran hanya menambah perpecahan umat, sehingga umat Islam yang sebelumnya terbagi kepada dua suku besar yaitu Sunni dan Syi’ah, menjadi tiga suku yaitu Sunni Wahabi, Sunni Asy’ari Maturidi, dan Syi’ah, perpecahan ini memperlihatkan kesempatan pihak luar Islam untuk mengadu domba umat. Oleh lantaran itu sebaiknya semua pihak menahan, menunda, mengurangi dan akhirnya berhenti untuk berperang antara sesama kaum khususnya dalam lingkup Sunni. Sebab tidak mendatangkan manfaat untuk Islam, bahkan membahayakan agama, dan perlu kita ingat bersama bahwa musuh kita bukan dari kita, melainkan dari luar agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah:


“Orang-orang Yahudi, dan Kristen tidak akan senang kepada kau hingga kau mengikuti agama mereka”. (Al-Baqarah, 120).




Alangkah baiknya kalau kita bersatupadu dalam agama dan tidak bercerai berai kolam buih di lautan, sebaiknya kita mengangkat satu syi’ar agama sebagai muslim “One Muslim”, dalam istilah al-Qur’an dikenal dengan “Ummatan wahidatan” atau satu umat, firman Allah Swt:


“Sesungguhnya (agama tauhid) ini yakni agama kau semua; agama yang satu dan Aku yakni Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (Al-Anbiya, 92).


Terkait dengan selamat atau tidak selamatnya suatu kaum, dalam hal ini Syi’ah turut juga mengaku bahwa keyakinan golongan merekalah yang akan selamat dan sesuai dengan tuntunan dan aliran Rasulullah Saw, untuk jelasnya penulis nukilkan beberapa periwayatan hadits Syi’ah ibarat berikut:

(إني تارك فيكم ما إن تمسكتم به لن تضلوا من بعدي أبدا: كتاب الله وعترتي أهل بيتي)

“Sesungguhnya saya tinggalkan kepadamu sekalian sesuatu yang kalau engkau berpegang teguh kepadanya, maka kau tidak akan sesat sehabis saya tiada, yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan keluargaku Ahlul Bait”.


Syi’ah setuju akan kebenaran riwayat ini asalnya dari ekspresi Rasulullah Saw, namun bekerjsama riwayat aslinya yakni “كتاب الله وسنة رسول الله” yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadits). Oleh karenanya riwayat ini yakni bentuk penyimpangan Syi’ah dengan menambahkan dan mengurangi teks hadits Rasulullah Saw.

Dalam kitab syi’ah lain “al-Hikmah ad-Durriyyah” karangan Ahmad bin Sulaiman (ulama Syi’ah Zaidiyah) disebutkan:

(ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها هالكة إلا فرقة واحدة, قيل: ومن هم يا رسول الله?, قال: هم معتزلة الشيعة وشيعة المعتزلة)

“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan hancur kecuali satu. Yaitu Mu’tazila Syi’ah dan Syi’ah Mu’tazilah “.


Tidak ada keraguan untuk menilai penyimpangan riwayat di atas, lantaran pertanyaan ditujukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan ketika itu belum ada orang yang berjulukan Syi’ah maupun Mu’tazilah.


Perpecahan umat Islam

Apapun halnya, seharusnya sengketa antara sesama Ahlu Sunnah sebaiknya dilarang dan bukan masanya lagi, Islam semakin terfragmentasi tanggapan sifat saling menjatuhkan antara sesama yang mengaku Islam Sunni, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah, Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua golongan tersebut masuk dalam frame “Ahlu Sunnah”. Atau umumnya diistilahkan sebagai “salaf dan khalaf”. Didunia maya ibarat facebook, blog, twitter dan lainnya ditemukan penamaan website dengan slogan yang mengarah kepada pencelaan antar golongan, ibarat penyantuman nama “anti Wahabi”, “anti Asy’ari”, dll. 

Label-label ibarat ini sangat merugikan umat Islam, khususnya antara pengikut aliran sunnah sendiri, lantaran itu akan menjadi konsumsi publik. Implikasinya, seolah-olah Islam yakni agama perpecahan, tidak menginginkan persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah gotong royong bukan mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri, cukuplah kita dijajah oleh orang luar “non muslim” dan itupun belum kita selesaikan hingga sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara mazhab.

Kondisi yang demikian, hasilnya ukhuwah Islamiyah rusak, persaudaraan Islam bubar, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga ummat Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal Allah SWT telah memperingatkan:

(يا أيها الذين آمنوا لا يسخر قوم من قوم عسى أن يكونوا خيرا منهم)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum (golongan) memperolok-olok kaum (orang) yang lain (karena) bisa jadi mereka (yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok”. (Al-Hujuraat: 11).




Umat Islam tidak perlu disibukkan dengan hal-hal Takfir dan Tadhlil atau mengkafirkan orang lain dan menyesatkannya, biarlah Allah di hari simpulan zaman yang mengadili makhluknya, lantaran kebenaran yang hakiki hanya Allah yang memilikinya dan bukan hambaNya. Ulama masing-masing golongan hanya sebatas ijtihad, yaitu berusaha mencari kebenaran dan kepastian, benar dan salah dalam berijtihad Nabi Saw telah memperlihatkan penilaian, sebagaimana sabda beliau:

“إذا حكم الحاكم فاجتهد ثم أصاب فله أجران, وإذا حكم فاجتهد ثم أخطأ فله أجر”

“Seorang hakim, ketika berijtihad dan ijtihadnya benar, maka baginya dua pahala, namun ketika ijitihadnya salah, maka baginya satu pahala”. (HR. Bukhari, no: 6919).


Kita bekerjasama dalam hal yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu sama lain terhadap hal yang kita perselisihkan.

Dengan konsep kembali ke aliran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, dalam mimbar ini kita mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan suku, kelompok dan alirannya. Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi:



“ولا نكفر أحدا من أهل القبلة بذنب ما لم يستحله”

“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak menghalalkan hal dosa yang ia perbuat”.


Maksudnya, antara sesama mukmin dan muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab label kafir atau muslim itu yakni urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat, lantaran menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka.



Persamaan tidak akan pernah terjadi dalam dunia ini, Allah berfirman:

(ولو شاء ربك لجعل الناس أمة واحدة ولا يزالون مختلفين)

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menyebabkan insan umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat”. (Huud: 118).




“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kau (hendak) memaksa insan supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya”. (Yunus: 99).


Ayat diatas menegaskan bahwa dalam lipatan dan rentetan sejarah insan sejak dari Nabi Adam as, bekerjsama sudah ada kontradiksi antara golongan.

Oleh lantaran itu, tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat, tapi jangan hingga perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Dapat menganggap salah orang lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan perilaku toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya menetapkan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lainnya. Prioritaskan bendera “agama” bukan bendera “mazhab” dan “orang”.



Sekilas Renungan:

Surat Untukmu Ya Rasulullah

Sholawat dan salam serta Rahmat dan keberkahan Allah Ajjawazala 
selalu untukmu wahai Rasul Panutan.. Wahai Kekasih pilihan..
Wahai Pemimpin Kedamaian.. Wahai Pembawa Kelembutan dan Kasih Sayang...
Rindu dan cinta kami selalu untukmu wahai Rasulullah...
Kami belum memandang Wajah Indahmu Ya Rasul .. 
Kami belum menikmati Senyum menawanmu Ya Rasulullah..

Kami belum Mendengar merdunya suaramu Ya Rasul.. 
Namun Engkau tahu dengan niscaya bahwa hal itu tidak mengurangi cinta 
dan Rindu kami Padamu Wahai Rasulullah hari-hari kami penuh terisi dengan bayangan indah wajahmu.. 
Tiap Detik kami lewati dalam kerinduan menanti perjumpaan denganmu Ya Rasul..
Wahai Kekasih kami Rasulullah..
Sungguh kami sadar bahwa mata ini kotor dan hina 
karena selalu memandang yang terlarang.. 
Namun sungguh kerinduan dalam hati kami padamu sudah tidak sanggup terbendung lagi..
Bukankah engkau menyampaikan di hadapan para sahabatmu 
bahwa engkaupun merindukan kami ? 
Sungguh gembira hati kami mendengar semua sabdamu..... 
Tanda bahwa engkau pun sangat ingin berjumpa dengan Kami..

Wahai pemimpin kami Rasulullah...
Banyak orang mencela kami lantaran kecintaan dan kerinduan kami padamu Rasulullah.. 
Namun sungguh itu tidak menciptakan kami menyerah.. 
justru hal itu semakin menguatkan cinta kami padamu...
Tujuan semua perbuatan kami.... hanyalah membahagiakanmu Ya Rasul 
karena dalam kebahagiaanmulah
tersimpan keridhoan Tuhan kami Allah Ajjawazala..


Wahai cahaya mata kami Rasulullah..
Tiada yang lebih kami inginkan melainkan membuatmu tersenyum.. 
Senang dan besar hati melihat kami.. 
Sungguh kami ini lemah, 
namun sangat bersemangat membantu dakwahmu 
walau kemampuan kami terbatas hanya untuk satu tujuan, 
melihat senyum indahmu mengembang di paras elokmu Rasulullah..

Wahai Nabi kami Muhammad bin Abdullah.. 
Air mata kerinduan selalu mengalir untukmu.. 
Sholawat perlambang cinta kami padamu 
selalu mengalir dengan derasnya dari bibir kami.. 
Sungguh bibir kami penuh dosa, 
Namun tersucikan dengan sebutan namamu
Rasulullah..

Wahai Kecintaan kami
Muhammad.. jangan tunda perjumpaan dengan kami 
hadirlah walau dalam mimpi kami.. 
Sungguh mata ini ingin menerima kemuliaan 
dengan memandang Wajah muliamu Rasulullah.. 
Lalu kami sebut dalam doa kami duhai Rasulullah ..

Ya Allah Tuhan kami jangan Engkau halangi kami dari rahmat-Mu Ya Allah.. 
Jangan Engkau hinakan kami dengan jauhnya kami dari-Mu dan dari Rasul-Mu Muhammad.. 
Jangan Engkau jadikan kami orang yang merugi dengan tertutupnya hijab 
antara kami dengan wajah indah kekasih-Mu Rasulullah.. Beliau
Rasulullah yang Engkau utus untuk mengenalkan Engkau kepada kami, 
Maka balaslah ia Muhammad dengan sebaik-baik balasan 
yang belum pernah Engkau berikan pada siapapun sebelumnya..

Wahai Tuhan kami Allah Ajjawazala, 
Sampaikan salam cinta dan rindu kami pada Beliau Rasulullah.. 
dan percepatlah perjumpaan kami dengan Beliau di dunia 
sebelum perjumpaan yang infinit kelak di akhirat.. 
Amin ya Rabbal ‘Aalamin...
Surat ini kami kirimkan kepadamu wahai Rasulullah 
bersama doa, rindu dan cinta kami padamu...
Semoga membahagiakan hatimu dan membuatkan senyummu... 
Salam cinta dan rindu terdalam untukmu wahai kekasih Allah...
dari para pecinta dan perindumu...





Muhammad Firdaus Al-Ansyari.

---)(---


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel