Tatkala Unta Mulai Dipikirkan
September 19, 2019
Edit
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana beliau diciptakan?” (QS. Al Ghaasyiyah, 88:17) |
Empat belas kala silam Allah menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia. Saat itu, masyarakat Arab benar-benar berada dalam kemunduran dan kekacauan. Namun, cahaya yang dibawa Al Qur’an dengan sangat luar biasa bisa merubahnya.
Arab pra-Islam ialah bangsa biadab penyembah berhala buatan mereka sendiri. Selain meyakini perang dan pertumpahan darah sebagai jalan kemuliaan, mereka pun tega membunuh anak sendiri. Namun, dengan Islam mereka berguru nilai kemanusian, rasa hormat, cinta kasih, keadilan dan peradaban. Bahkan tak hanya bangsa Arab, semua masyarakat yang mendapatkan Islam keluar dari gelapnya zaman kebodohan (jahiliyah), dan tersinari nasihat Ilahiah yang dikandung Al Qur’an. Di antara pencerahan Al Qur’an kepada insan ialah contoh pikir ilmiah.
Dasar berpikir ilmiah ialah rasa keingintahuan. Karena bertanya-tanya wacana bagaimana jagat raya dan alam kehidupan bekerja, insan menyelidiki dan menjadi tertarik pada ilmu pengetahuan. Namun tidak banyak yang mempunyai rasa ingin tahu ini. Bagi mereka, yang penting bukanlah belakang layar alam semesta dan kehidupan, tapi laba dan kenikmatan dunia yang sedikit.
Dalam masyarakat yang diperintah oleh para pemimpin yang berpola pikir demikan, ilmu pengetahuan tidak berkembang. Kejumudan dan kebodohan merajalela, sebagaimana yang membelenggu masyarakat Arab sebelum turunnya Al Qur’an. Namun ayat-ayat Al Qur’an menyeru mereka berpikir, meneliti, memakai nalar mereka; sesuatu yang barangkali gres pertama mereka alami sepanjang hidup. Dalam salah satu ayat Al Qur’an yang diturunkan di masa awal, Allah mengarahkan perhatian masyarakat Arab kepada unta, binatang yang menjadi bab kehidupan mereka sehari-hari: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana beliau diciptakan?” (QS. Al Ghaasyiyah, 88:17)
|
Di banyak ayat Al Qur’an lainnya, insan diseru mengkaji alam dan berguru darinya, lantaran insan sanggup mengenal Pencipta hanya dengan meneliti ciptaan-Nya. Karenanya, dalam sebuah ayat, kaum Muslimin disebut sebagai orang yang berpikir wacana penciptaan langit dan bumi: “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil bangun atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan wacana penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau membuat ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali ‘Imran, 3:191)
Alhasil, bagi seorang Muslim, melaksanakan pengkajian ilmiah ialah sebentuk ibadah yang sangat penting. Di banyak ayat Al Qur’an, Allah menyeru kaum Muslimin untuk meneliti langit, bumi, makhluk hidup atau keberadaan diri mereka sendiri, dan memikirkannya. Ketika mengkaji ayat-ayat tersebut, akan kita temukan petunjuk wacana seluruh cabang utama ilmu pengetahuan dalam Al Qur’an. Misalnya, dalam Al Qur’an, Allah menganjurkan mempelajari ilmu astronomi sebagaimana berikut:
Yang telah membuat tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kau lihat sesuatu yang tidak seimbang? (QS. Al Mulk, 67:3)
Di ayat lain, misalnya, Allah menyeru pengkajian terhadap ilmu astronomi dan geologi (QS. Qaaf, 50:6-8), botani (QS. Al An’aam, 6:99), zoologi (QS. An Nahl, 16:66), arkeologi dan antropologi (QS. Ar Ruum, 30:9), ilmu wacana insan (QS. Adz Dzaariyaat, 51:20-21), dan lain sebagainya.
Demikianlah, dalam Al Qur’an Allah menyeru kaum Muslimin untuk mempelajari semua cabang ilmu pengetahuan. Tidak heran jikalau dalam sejarah, perkembangan Islam secara bersamaan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan.
--o0o--