Cahaya Penghancur Berhala
September 18, 2019
Edit
Ketika Nabi Muhammad SAW mulai mendakwahkan Islam, Arab yakni sebuah masyarakat jahiliyyah penganut takhayyul. Tapi, berkat cahaya Al Qur’an, mereka kemudian terbebaskan dari takhayul dan mulai memakai logika mereka. Akibatnya, salah satu perkembangan mencengangkan dalam sejarah dunia pun terjadi. Dalam beberapa puluh tahun saja, Islam, yang muncul dari kota kecil berjulukan Madinah, tersebar dari Afrika sampai Asia Tengah.
Masyarakat Arab, yang dulunya tak bisa mengurus satu kota pun dengan rukun, menjadi penguasa imperium dunia. Dalam bukunya The Straight Path, pakar Islam asal Amerika, Profesor John Esposito, menjelaskan sisi menakjubkan wacana kemunculan Islam sebagaimana berikut:
Yang paling mencengangkan wacana ekspansi wilayah kekuasaan Islam di masa awal yakni kecepatan dan keberhasilannya. Para pakar Barat merasa takjub akan hal ini… Dalam satu dasawarsa, pasukan Arab menaklukkan angkatan perang Bizantium dan Persia…dan menguasai Irak, Suriah, Palestina, Persia dan Mesir… Pasukan Muslim tampil sebagai penakluk yang sulit terkalahkan dan penguasa yang berhasil, pembangun dan bukan perusak. (John L. Esposito, Islam: The Straight Path, 1998, hlm. 33)
Ketika bermacam-macam bangsa, termasuk Turki, mendapatkan Islam atas kehendak mereka sendiri, imperium Islam tumbuh semakin besar dan menjadi kekuatan terbesar di dunia pada masanya. Salah satu sisi terpenting imperium ini yakni terbukanya babak perkembangan ilmu pengetahuan yang tak tertandingi sebelumnya dalam sejarah.
“Pasukan Muslim tampil sebagai penakluk yang sulit terkalahkan dan penguasa yang berhasil, pembangun dan bukan perusak.” (John L. Esposito, Islam: The Straight Path, 1998, hlm. 33) |
Di masa ketika Eropa tengah mengalami Masa Kegelapan, dunia Islam telah membangun warisan terbesar ilmu pengetahuan yang pernah disaksikan sejarah sampai ketika itu. Ilmu kedokteran, matematika, geometri, astronomi, dan bahkan sosiologi dikembangkan secara sistematis untuk kali pertama.
Sejumlah pengulas berusaha mengaitkan perkembangan ilmu pengetahuan Islam ini dengan imbas Yunani Kuno. Namun, sumber bergotong-royong ilmu pengetahuan Islam yakni penelitian dan pengamatan para ilmuwan Muslim itu sendiri. Dalam bukunya The Middle East, Profesor Bernard Lewis, pakar sejarah Timur Tengah, menjelaskannya sebagai berikut:
Pencapaian ilmu pengetahuan Islam kala pertengahan tidaklah terbatas pada pelestarian warisan keilmuwan Yunani, bukan pula penggabungan unsur-unsur warisan budaya Timur yang lebih renta dan lebih jauh kepada bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Warisan ini, yang dilimpahkan para ilmuwan Islam kala pertengahan kepada dunia modern, sungguh sangat diperkaya oleh daya upaya dan sumbangsih mereka sendiri. Ilmu pengetahuan Yunani, secara keseluruhan, lebih cenderung bersifat teoritis. Ilmu pengetahuan Timur Tengah kala pertengahan lebih banyak bersifat praktis, dan dalam bidang-bidang ibarat kedokteran, kimia, astronomi, dan agronomi, warisan masa kemudian tersebut diperjelas dan diperkaya dengan penelitian dan pengamatan para ilmuwan Timur Tengah kala pertengahan. (Bernard Lewis, The Middle East, 1998, hlm. 266)
Rahasianya yakni disiplin ilmiah dan referensi pikir yang diajarkan Al Qur’an kepada para ilmuwan Muslim. Baris-baris goresan pena seorang ilmuwan Muslim masa itu dalam catatan hariannya dengan sangat terperinci mengatakan betapa gagasan ilmu pengetahuan menurut Al Qur’an benar-benar diterapkan:
Ali Kushchu, ilmuwan kala ke-15th yang pertama kali menciptakan peta bulan. Namanya dijadikan sebagai nama salah satu wilayah di bulan. |
Kemudian, selama satu setengah tahun, aku mencurahkan hidup aku untuk belajar....Selama masa ini, aku tak pernah tidur semalaman penuh dan tak melaksanakan apa pun selain mencar ilmu seharian penuh. Kapan pun aku menemukan kesulitan... Saya akan pergi ke masjid, sholat, dan memohon kepada Pencipta Segala Sesuatu untuk mengatakan kepada aku apa yang tersembunyi dari saya, dan menjadikannya gampang bagi aku sesuatu yang sebelumnya sulit. Lalu di malam hari aku akan kembali ke rumah, meletakkan pelita di depan saya, dan memulai membaca dan menulis... Saya terus melaksanakan ini sampai aku mempunyai dasar yang besar lengan berkuasa di seluruh cabang ilmu pengetahuan dan menguasainya sejauh mungkin. (John L. Esposito, Islam: The Straight Path, 1998, hlm. 54)
Andalusia (sekarang Spanyol), daerah kebanyakan ilmuwan Muslim dilahirkan dan dibesarkan, menjadi sentra utama kemajuan dan perkembangan, khususnya di bidang kedokteran. Para dokter Muslim sangat hebat di banyak sekali bidang ibarat farmakologi, ilmu bedah, optalmologi, ginekologi, fisiologi, bakteriologi, dan ilmu kesehatan. Mereka juga menciptakan sejumlah inovasi penting yang meletakkan landasan bagi ilmu pengetahuan modern. Sebagian kecil dari mereka adalah:
Ibn Juljul (Tanaman obat-obatan), Abu Ja'far Ibn al-Jazzar (Kedokteran), Abd al-Latif al-Baghdadi (Anatomi), Ibn Sina (Anatomi), Zakariya Qazwini (Jantung dan otak), Hamdullah al-Mustaufi al-Qazwini (Anatomi), Ibn al-Nafis (Anatomi), Ali bin Isa (Anatomi mata), Biruni (Astronomi), Ali Kushchu (Astronomi), Thabit ibn Qurrah (Matematika), Battani (Matematika), Ibn al-Haitsam (Optik), Al-Kindi (Fisika).
Budaya ilmiah yang maju di dunia Islam ini membuka jalan bagi kala Kebangkitan Barat. Para ilmuwan Muslim bertindak atas pemahaman bahwa penelitian mereka terhadap ciptaan Allah yakni jalan yang dengannya mereka sanggup mengenal Allah. Dengan berpindahnya cara berpikir ini ke dunia Barat, kemajuan Barat pun dimulai.