Ketika Hidup Berada Di Persipangan Jalan

Kehidupan sejatinya yaitu sebuah perjalanan.
Perjalanan panjang untuk menuju kampung halaman idaman;
Perjalanan yang usang dan melelahkan demi mencapai sebuah tujuan; Perjalanan yang berliku dan penuh bahaya di setiap langkah kehidupan.



Akan halnya sebuah perjalanan, kehidupan-pun tak selamanya dilalui dengan lancar/bebas hambatan. Ada kalanya kita hanya bisa terdiam, terhenti dan tertahan-tanpa bisa terus berjalan. Seperti layaknya pengendara sepeda motor yang menunggu "lampu hijau" di traffic light, atau laksana pejalan kaki yang menanti waktu yang sempurna untuk bisa menyeberang jalan. Ya, hidup kita, di sepanjang perjalanan yang telah-sedang dan akan terus kita tempuh senantiasa dihadapkan pada "persimpangan jalan".


Setiap lembar kisah perjalanan kehidupan kita di atas muka bumi ini tak bisa menafikan adanya suatu masa, sebuah fase, dimana kita lebih cenderung bersifat statis-pasif-[bahkan] konservatif. "Persimpangan jalan" yang ada pun kadang kala memaksa kita untuk menjadi ragu, bisu, kaku hingga takut untuk memutuskan "ke mana kaki harus melangkah". Alih-alih meneruskan perjalanan yang masih panjang membentang, "persimpangan jalan" tersebut bisa saja menciptakan perjalanan kita tersendat-sendatterlambat, bahkan gagal total!



Begitu banyak, amat sering, dan terlampau luas eksistensi "persimpangan jalan" ini dalam hidup kita sehari-hari. Ketika seorang pejabat dengan segala kewenangan dan kekuasaan jabatannya dihadapkan pada pilihan KORUPSI atau TIDAK-KORUPSI, di dikala itu ia bergotong-royong ada di "persimpangan jalan". Ketika seorang ilmuwan dengan segala kapasitas ilmunya diharuskan menentukan antara berlaku JUJUR/AMANAH dan BOHONG/KHIANAT sesungguhnya ia pun sedang berada di "simpang jalan". Bahkan, ketika seorang jejaka merasa bimbang antara perilaku MENYATAKAN CINTA ataukah HANYA TERDIAM SAJA terhadap dara yang didambanya, itupun sebuah ilustrasi "ke-simpang-an pilihan".



Tidak hanya berhenti disitu saja, Kawan!
Seringkali pilihan yang kita hadapi dan harus kita pilih ketika kita berada di "persimpangan jalan" bukanlah sebuah pilihan celotehan belaka, melainkan sebuah pilihan dengan multi-dimensi, multi-variabel/parameter, dan multi-implikasi. Inilah yang menciptakan pilihan kita menjadi rumit. Ini pulalah yang bisa melumpuhkan semangat juang kita - yakni ketakutan akan kenyataan bahwa: terdapat begitu banyak alternatif yang harus kita pilih; terdapat begitu banyak hal yang harus dipertimbangkan; terdapat begitu banyak peluang melakukan satu kesalahan.



Mari kita ambil sebuah contoh.

Awalnya yaitu ayah kita. Suatu waktu ia dihadapkan pada pilihan (baca: berada di persimpangan jalan) untuk menikah. Untuk menikah, ia tentunya harus menentukan siapa perempuan yang akan menjadi calon istrinya - ibu bagi anak-anaknya. Disini, sang ayah bisa saja sudah kebingungan alasannya yaitu harus menentukan 1 dari sekian milyar kaum hawa di bawah kolong langit ini (wow, Anda bisa bayangkan betapa banyaknya itu). Oke lah, populasi pilihan bisa saja merosot tajam - bila ayah kita memfokuskan "area berburu" di komunitas tertentu saja: entah di lingkungan kantor, lingkungan sekolah, atau lingkungan kelurahan. Anggaplah setiap lingkungan tersebut menawarkan kandidatnya masing-masing. Seorang rekan kerja perempuan yang menawan, seorang mitra usang di sekolah yang cerdas, dan anak gadis pak Lurah. [Ingat,] setiap kandidat tersebut mempunyai karakternya masing-masing dan membawa atribut yang berbeda-beda. Ayah kitalah yang paling bertanggung-jawab atas segala konsekuensi atas pilihan yang dijatuhkannya.


Maka, apa yang terjadi ketika sang ayah menikahi dan kemudian berumah tangga - yang pada gilirannya akan melahirkandan membentuk kita - dengan salah satu dari ketiga kandidat tersebut akan sangat berbeda untuk tiap-tiap skenario pernikahan. Kita, yaitu produk dari lingkungan sekitar kita - dan dalam hal ini yang saya sebut sebagai lingkungan adalah lingkungan terkecil kita: keluarga (atau, yang secara khusus sanggup diwakili oleh entitas "Ayah-Ibu").



Maka, seharusnya Anda bisa membayangkan beberapa kemungkinan (outcome) yang sanggup terjadi menurut satu-fase-kecil dalam kehidupan seseorang. Dimana kita berada pada satu kondisi - yakni dihadapkan pada beberapa pilihan yang berbeda-beda - untuk menentukan  pilihan di antara  dilema-pilihan. Jelaslah, satu keputusan yang diambil dalam satu titik dalam 'garis-panjang' perjalanan hidup seorang insan bisa memengaruhi - atau bahkan - merubah konfigurasibentuk, dan orientasi dari goresan-tinta atas 'garis-panjang kehidupan'nya.



Bagaimana, Kawan? Saya harap Anda belum bosan bersama saya. Mungkin Anda bertanya-tanya: "apa gerangan yang ingin kamu sampaikan, anak muda?". Sabar, wahai Kawan. Sebentar lagi saya akan mengutarakan maksud di hati yang tersisa...



Uraian panjang di atas hanya menggambarkan kepada kita begitu peliknya kehidupan yang harus kita jalani ini. Ilustrasi kisah sebelumnya menunjukkan bahwa rentetan perjalanan kehidupan ini tersusun dengan begitu kompleks - [sungguh] sangat kompleks. Lalu, mungkin Anda menjadi gusar dan kemudian bertanya. "apa yang harus kita lakukan di tengah kehidupan yang serba pelik nan kompleks ini? Kami juga tahu bahwa hidup kini itu serba-susah dan penuh misteri!".



Dan, inilah pesan-utama yang ingin saya sampaikan padamu, wahai Kawan!



"Anda tidak diciptakan untuk menjadi orang susah, makhluk celaka, tidak juga hamba yang sengsara! Engkau diberikan ke-hidup-an bukan dengan maksud semoga hidupmu Engkau habiskan hanya di 'persimpangan jalan'. Namun, sesungguhnya Engkau diciptakan dengan sebaik-baik penciptaan, setinggi-tingginya kemuliaan, demi mereguk kenikmatan-kebahagiaan-kemenangan! Engkau telah dianugerahi nafas untuk hidup, semoga Engkau sanggup men-ja-lan-i ke-hi-dup-an ini dengan baik dan [melewatinya dengan] selamat. Karena, 'hidup itu untuk dijalani', maka 'berjalanlah'! Dan, [karena kehidupan yaitu perjalanan] hanya orang-orang yang berjalanlah yang dikatakan benar-benar 'hidup'. Berjalanlah terus, dan janganlah memperpendek umurmu dengan sering berhenti di persimpangan. Sekali lagi, berjalanlah! Karena..."
Hanya orang yang telah menempuh perjalanan jauh lah, yang akan melihat jalan panjang menuju kampung halaman idaman.

Hidup [ini] yaitu perjalanan. Dan, perjalanan seorang muslim tidak akan pernah berhenti hingga ia berada di depan gerbang Surga.


Selamat menikmati perjalanan... hingga ke keabadian.

Coretan 28 Pebruari 2017


--o6o--

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel