Hatta, Pemimpin Indonesia Paling Teladan

Tokoh proklamator, salah satu founder Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980 di usia 78. Untuk mengenangnya, kita telusuri lagi kehidupan pemimpin bangsa ini yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaan.

Kita niscaya berpikir, menjadi orang nomor 1 atau nomor 2 di republik ini berarti hidup enak, terjamin, semua yang diingini gampang diperoleh. Bayangan menyerupai itu tak berlaku bagi Bung Hatta. Karena dia bahkan tak pernah bisa beli sepatu impiannya.



Dikisahkan, suatu dikala Hatta pergi ke luar negeri. Di sebuah toko, ia melihat sepatu Bally dan terpesona. Tapi, tak cukup uang di saku. Di masa itu, Bally merupakan merek ternama nan mahal. Saking mengidamkan, guntingan iklan sepatu Bally di koran disimpannya. Ia berharap suatu waktu bisa membeli.

Sampai Hatta wafat, sepatu Bally idamannya tetap tak terbeli. Uang tabungan tak pernah mencukupi -- selalu terpakai untuk keperluan rumah tangga, menolong kerabat, dan kebutuhan lain.

Bung Hatta memang dikenal orang yang sederhana, teguh pada prinsip, dan tidak mau memanfaatkan kemudahan negara. Kisah-kisah berikut semakin pertanda hal tersebut.



Pergi Satu Koper, Pulangpun Satu Koper

Sebagai pejabat tinggi, apalagi wakil presiden tentu sering berkunjung ke banyak sekali negara. Lazimnya sanggup kesempatan ke luar negeri niscaya akan pulang penuh oleh-oleh. Namun, apa kata sekretaris Bung Hatta, I. Wangsa Widjaja soal atasannya?

"Ia pergi membawa satu koper dan pulang dengan satu koper pula," tulis Wangsa di Mengenang Bung Hatta. Wangsa bilang, Hatta tak suka menghamburkan uang untuk belanja ini dan itu.

Hatta juga nyaris tak pernah memanfaatkan kunjungan ke luar negeri untuk bersenang-senang. "Kalaupun dia menghendaki liburan, satu-satunya hiburan dia adalah  mengunjungi toko buku dan membenamkan diri di antara rak-rak buku selama berjam-jam," lanjut Wangsa yang bekerja untuk Hatta semenjak November 1945, orang yang merupakan saksi hidup dari kesederhanaannya.


Mobil Negara Bukan Milik Pribadi


Mobil Kenegaraan Bung Hatta

Pada 1950, ibunda Hatta ingin bertemu anaknya. Lalu, Hasjim Ning (Kemenakan tiri Hatta) diminta menjemput Mak Tuo, panggilan Sang Ibunda, ke Sumedang, Jawa Barat.

Saat itu Hasjim Ning mengusulkan kenapa tak menggunakan kendaraan beroda empat dan supir Hatta saja. Pasti Mak Tuo besar hati dijemput dengan kendaraan beroda empat Perdana Menteri.

"Tidak bisa. Pakai saja kendaraan beroda empat Hasjim. Mobil itu bukan kepunyaanku, kepunyaan negara," kata Hatta menyerupai dikutip dalam otobiografi Hasjim, Pasang Surut Pengusaha Pejuang.


Mesin Jahit dan Rahasia Negara

Keteguhan prinsip Hatta bahkan dirasakan juga oleh istrinya, Rahmi Rachim. Ceritanya, sang istri menghemat pengeluaran keluarga semoga bisa membeli mesin jahit. Setelah uangnya terkumpul dan hampir mencukupi untuk membeli mesin jahit, tiba-tiba ia dikejutkan gosip bahwa Pemerintah RI menerbitkan kebijakan sanering atau pemotongan nilai uang. Diturunkan sampai tinggal 10 persennya. Maka, Rp 1.000 menjadi Rp 100 dan seterusnya. Tujuannya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang memburuk waktu itu.

Duit Rahmi yang hampir mencukupi tiba-tiba menjadi tidak ada nilainya. Dengan hati murung ia mendatangi suaminya dan berucap, ”Pak, Bapak kan Wakil Presiden. Bapak niscaya tahu bahwa pemerintah akan mengadakan sanering. Mengapa Bapak tidak memberi tahu kepada ibu?”

Hatta menjawab, ”Bu, itu diam-diam negara. Kalau Bapak beritahu pada ibu, berarti itu bukan diam-diam lagi.”

Begitulah perilaku kesederhaannya, maka tidak heran banyak seniman yang mengunkapkannya melalui lagu menyerupai Iwan Fals dengan judul lagunya 'Proklamator" sebagai bentuk kecintaan yang mendalam atas perilaku beliau. "Doa Kami Senantiasa Menyertaimu di Alam Baka" Amin.


Bung Hatta Bersama Keluarga




--o0o--

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel