Sampuraga, Dongeng Anak Durhaka

Sampuraga, sebuah legenda dari tanah Mandailing Sumatra Utara

Alkisah, pada zaman dahulu kala di sebuah kampung yang sepi hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda renta dengan seorang anak laki-lakinya yang berjulukan Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain dan mencari kayu bakar untuk dijual. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang sesudah bekerja semenjak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kau pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.

“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.

“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya mempunyai sawah dan ladang. Mereka juga sangat gampang mendapat uang dengan cara mendulang emas di sungai, alasannya yakni tanah di sana mempunyai kandungan emas,” terang sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah usang bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.

Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.

“Bu, saya ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Sampuraga ingin mengubah nasib kita yang sudah usang menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.
“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.

“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahuku bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, alasannya yakni tanahnya sangat subur,” terang Sampuraga kepada ibunya.

“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak sanggup bertemu lagi, alasannya yakni usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak mempunyai alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, alasannya yakni selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.

“Terima kasih, bu! Sampuraga berjanji akan segera kembali jikalau sudah berhasil. Doakan saya, ya bu!“

 Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kau bawa!” seru sang ibu.

Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, saya berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jikalau sudah berhasil!” harap sang ibu.

Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak sanggup membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, kemudian berkata:

“Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.



Sampuraga dalam perjalanan perantuannya di malam hari (courtesy by Frida-Aceda)
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari sampailah ia di desa Sirambas . Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari watu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu membuktikan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun pribadi diterima pribadi oleh raja Sirambas. Sang Raja sangat percaya kepadanya, alasannya yakni ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Raja menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang cowok yang sangat jujur. Oleh alasannya yakni itu, sang Raja ingin mengangkatnya menjadi seorang raja alasannya yakni raja tidak mempunyai anak pria dengan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang populer paling anggun di wilayah kerajaan Sirambas.

“Sampuraga, engkau yakni anak yang baik dan rajin. Maukah engkau saya jadikan menantuku?” tanya sang Raja.

“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan” jawab Sampuraga.

Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai moral Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum program tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan. Berita wacana pesta janji nikah yang meriah itu telah tersiar hingga ke pelosok-pelosok daerah.

Lalu bagaimana dengan ibunya Sampuraga? Walaupun sendirian ia tetap meneruskan hidup dan kesehariannya dengan mencari kayu bakar, tapi kerinduannya yang semakin hari semakin tak tertahan membuatny sering sakit-sakitan. Suatu hari ia tetapkan untuk menyusul anaknya ke Mandailing walaupun ia tidak tahu anaknya Sampuraga dimana berada alasannya yakni Sampuraga sekalipun tidak pernah memberi kabar kepada ibunya, apalagi wacana rencana pernikahannya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk mencari anak satu-satunya itu.  Lapar dan lelah tiada dipedulikan demi mencarai anak tercintanya.

Suatu hari ketika ia hingga di kerajaan Sirambas, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula bunyi Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek renta itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia mendengar raja Sirambas sedang mengadakan pesta untuk janji nikah putrinya dengan seorang cowok yang sangat dikenalnya namanya, Sampuraga. Sampuraga ketika itu sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang anggun jelita.

Oleh alasannya yakni rindu yang sangat mendalam, ia tidak sanggup menahan diri. Tiba-tiba ia pribadi mendatangi Bagas Godang tempat Sampuraga sedang bersanding dan  berteriak memanggil nama anaknya ” Sampuraga.. ini ibu nak…”. Sampuraga sangat terkejut mendengar bunyi yang sudah tidak absurd di telinganya. “Ah, mustahil itu bunyi ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber bunyi itu di tengah-tengah keramaian. Setelah diberitahu pengawal bahwa ada seorang wanita renta yang mengaku ibunya di depan Bagas Godang, ia pun keluar.  Beberapa dikala kemudian, tiba-tiba seorang nenek renta berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini saya ibumu, Nak!” seru nenek renta itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga. Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba bermetamorfosis merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat aib kepada para ajakan yang hadir, alasannya yakni nenek renta itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak. Perasaannya berkecamuk, ia takut kalau Raja tahu bahwa wanita renta itu yakni ibunya maka pernikahannya akan dibatalkan alasannya yakni sebelumnya ia sudah mengaku bahwa ayah dan ibunya sudah usang meninggal dan ia tinggal sebatang kara.

“Hei, wanita jelek! Enak saja kau mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu buruk mirip kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, tiba-tiba Sampuraga membentak ibunya.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kau melupakan ibu? Ibu sudah usang sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba wanita renta itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah usang meninggal dunia. Algojo! Usir nenek renta ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua ajakan yang menyaksikan bencana itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya. Perempuan renta yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang pengawal Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, wanita renta itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar cowok itu yakni Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak usang kemudian, hujan deras pun turun diikuti bunyi guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu karam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah bermetamorfosis kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa watu kapur berukuran besar yang bentuknya mirip kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya mirip materi makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu yakni penjelmaan dari upacara janji nikah Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga” yang terletak di desa Sirambas (sekitar 6 km dari sentra kota Panyabungan).



--o0o--

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel