Mengenal Laksamana Cheng Ho Sang Penjelajah China Muslim

LAKSAMANA CHENG HO Pendahulu Colombus dan Vasco Da Gama
pernah singgah dan bertabligh akbar di Surabaya 

ilustrasi laksamana cheng ho

Petualang Christopher Columbus dikenal mahir alasannya yaitu berhasil menemukan benua Amerika pada tahun 1492. Namun tahukah Anda bahwa ada penjelajah yang jauh lebih hebat? Dia yaitu Laksamana Cheng Ho, seorang Tionghoa Muslim yang hidup sekitar 6 era lalu.

Selama hidupnya, Cheng Ho atau Zheng He melaksanakan petualangan antarbenua selama 7 kali berturut-turut dalam kurun waktu 28 tahun (1405-1433). Tak kurang dari 30 negara di Asia, Timur Tengah, dan Afrika pernah disinggahinya. Pelayarannya lebih awal 87 tahun dibanding Columbus. Juga lebih dulu dibanding bahariwan dunia lainnya menyerupai Vasco da Gama yang berlayar dari Portugis ke India tahun 1497. Ferdinand Magellan yang merintis pelayaran mengelilingi bumi pun kalah duluan 114 tahun.

Ekspedisi Cheng Ho ke 'Samudera Barat' (sebutan untuk lautan sebelah barat Laut Tiongkok Selatan hingga Afrika Timur) mengerahkan armada raksasa. Pertama mengerahkan 62 kapal besar dan belasan kapal kecil yang digerakkan 27.800 ribu awak. Pada pelayaran ketiga mengerahkan kapal besar 48 buah, awaknya 27 ribu. Sedangkan pelayaran ketujuh terdiri atas 61 kapal besar dan berawak 27.550 orang. Bila dijumlah dengan kapal kecil, rata-rata pelayarannya mengerahkan 200-an kapal. Sementara Columbus, ketika menemukan benua Amerika 'cuma' mengerahkan 3 kapal dan awak 88 orang.

Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada era ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
       
Model kapal itu menjadi wangsit petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang ketika itu tergolong canggih menyerupai kompas magnetik.

       
Mengubah Peta Pelayaran Dunia

Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung wacana asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa beliau berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao. Nama itu dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.

Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming. Para cowok ditawan, bahkan dikebiri, kemudian dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).

Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil memperlihatkan kehebatan dan keberaniannya. Misalnya ketika memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.

Ketika kaisar mencanangkan kegiatan pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot jawaban kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho memperlihatkan diri untuk mengadakan muhibah ke banyak sekali penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar undangan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun alasannya yaitu yang hendak menjalani yaitu orang yang dikenal berani, kaisar sepakat saja.

Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid bau tanah di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini bisa mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
       
Pelayaran luar biasa itu menghasilkan buku Zheng He's Navigation Map yang bisa mengubah peta navigasi dunia hingga era ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan banyak sekali pelabuhan. Jalur perdagangan Cina berubah, tidak sekadar bertumpu pada 'Jalur Sutera' antara Beijing-Bukhara.
       
Dalam mengarungi samudera, Cheng Ho bisa mengorganisir armada dengan rapi. Kapal-kapalnya terdiri atas atas kapal pusaka (induk), kapal kuda (mengangkut barang-barang dan kuda), kapal penempur, kapal materi makanan, dan kapal duduk (kapal komando), plus kapal-kapal pembantu. Awak kapalnya ada yang bertugas di bab komando, teknis navigasi, militer, dan logistik.
       
Berbeda dengan bahariwan Eropa yang berbekal semangat imperialis, armada raksasa ini tak pernah serakah menduduki tempat-tempat yang disinggahi. Mereka hanya mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan efek politik ke negeri asing, serta mendorong perniagaan Tiongkok. Dalam majalah Star Weekly HAMKA pernah menulis, "Senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak yaitu 'senjata budi' yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi."
       
Sementara sejarawan Jeanette Mirsky menyatakan, tujuan ekspedisi itu yaitu memperkenalkan dan mengangkat prestise Dinasti Ming ke seluruh dunia. Maksudnya biar negara-negara lain mengakui kebesaran Kaisar Cina sebagai The Son of Heaven (Putra Dewata).
       
Bukan berarti armada tempurnya tak pernah bertugas sama sekali. Laksamana Cheng Ho pernah memerintahkan tindakan militer untuk menyingkirkan kekuatan yang menghalangi kegiatan perniagaan. Makara bukan invasi atau ekspansi. Misalnya menumpas gerombolan bajak laut Chen Zhuji di perairan Palembang, Sumatera (1407).

Dalam kurun waktu 1405-1433, Cheng Ho memang pernah singgah di kepulauan Nusantara selama tujuh kali. Ketika berkunjung ke Samudera Pasai, beliau menghadiahi lonceng raksasa Cakradonya kepada Sultan Aceh. Lonceng tersebut ketika ini tersimpan di Museum Banda Aceh. Tempat lain di Sumatera yang dikunjungi yaitu Palembang dan Bangka.
       
Selanjutnya mampir di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok). Tahun 1415 mendarat di Muara Jati (Cirebon). Beberapa cindera mata khas Tiongkok dipersembahkan kepada Sultan Cirebon. Sebuah piring bertuliskan Ayat Kursi ketika ini masih tersimpan baik di Kraton Kasepuhan Cirebon.

Ketika menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Sauh segera dilempar di pantai Simongan, Semarang. Mereka tinggal di sebuah goa, sebagian lagi menciptakan pondokan. Wang yang kini dikenal dengan sebutan Kiai Jurumudi Dampo Awang, akibatnya menetap dan menjadi cikal bakal keberadaan warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
       
Perjalanan dilanjutkan ke Tuban (Jatim). Kepada warga pribumi, Cheng Ho mengajarkan tatacara pertanian, peternakan, pertukangan, dan perikanan. Hal yang sama juga dilakukan sewaktu singgah di Gresik. Lawatan dilanjutkan ke Surabaya. Pas hari Jumat, dan Cheng Ho menerima kehormatan memberikan khotbah di hadapan warga Surabaya yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Kunjungan dilanjutkan ke Mojokerto yang ketika itu menjadi pusat Kerajaan Majapahit. Di kraton, Raja Majapahit, Wikramawardhana, berkenan mengadakan audiensi dengan rombongan bahariwan Tiongkok ini.

       suku Hui di China

Muslim Taat

Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam semenjak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.

Bulan Ramadhan yaitu masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 setelah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan pulang kampung ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho menentukan berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia karam dalam kegiatan keagamaan hingga Idul Fitri tiba.

Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut yaitu Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA.

anak-anak suku hui sedang berguru agama

Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, contohnya dalam melaksanakan penguburan mayat di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.

Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 beliau merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak alasannya yaitu terbakar. Pemugaran masjid menerima pinjaman eksklusif dari kaisar.
       
Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang menandakan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan ketika ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.


Sekilas Tentang Suku Hui China

Suku Hui (Hanzi: 回族, hanyu pinyin: hui zu) yaitu salah satu suku dari lima suku terbesar di Republik Rakyat Tiongkok. Suku ini memeluk agama Islam dan tersebar di hampir seluruh provinsi di Tiongkok, namun terkonsentrasi di Ningxia, Hainan, Gansu, Yunnan dan Qinghai. Ningxia sendiri yaitu kawasan otonomi bagi suku muslim Hui.

Suku Hui sendiri yaitu hasil asimilasi dan merupakan keturunan dari suku Han dengan bangsa Persia dan Arab semenjak zaman Dinasti Tang. Sekitar era ke-7, para pedagang Persia dan Arab mulai memenuhi kantung-kantung perdagangan Tiongkok. Yang tiba melalui Jalan Sutra, biasanya menetap di Chang'an dan sekitarnya, sedangkan yang tiba melalui jalan laut menetap di kawasan Quanzhou dan Zhangzhou di pesisir Fujian. Mereka inilah kemudian berasimilasi dengan suku Han dan menurunkan suku Hui yang kini tersebar di seluruh Tiongkok ini.

Secara fisik, suku Hui tidak berbeda dengan suku Han; yang berbeda hanya cara hidup mereka yang beragama Islam, menjalankan syariah Islam namun bergaya Konfusianis. Hal ini membedakan mereka daripada suku Uygur, yang sama-sama memeluk agama Islam namun lebih bernafaskan Islam Asia Tengah.

Tokoh-tokoh terkenal:

  • Cheng Ho (Zheng He)
  • Ma Huan, anak buah Cheng Ho yang mendokumentasi perjalanan dan laporannya menceritakan keadaan ibukota Majapahit.  (sumber: wikipedia)


--0o0--

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel