“Kami” Sebagai Kata Ganti Allah Dalam Al-Qur’An, Apakah Allah Itu Lebih Dari Satu ?
Mei 27, 2019
Edit
Di dalam Al-Qur'an, Allah memakai kata "Kami" dan "Aku" sebagai kata ganti orang pertama yang mengacu kepada Allah sendiri. Mungkin kita bertanya-tanya, atau mungkin kita pernah mendengar orang mempertanyakan, "Mengapa Allah memakai kata 'Kami' yang berarti jamak atau lebih dari satu?", bahkan mungkin ada yang menyampaikan "berarti itu menawarkan Allah lebih dari satu".
Jawaban yang paling terkenal adalah, "Ketika Allah memakai kata 'Kami', itu berarti pada ketika itu Allah melibatkan pihak lain, contohnya melibatkan malaikat Jibril. Dan jikalau memakai kata 'Aku' berarti dalam aktivitasnya merupakan hak prerogatif Allah".
Akan tetapi, bagaimana dengan surah Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi : "dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat ..." atau di surah Al-Baqarah ayat 52 yang menyampaikan : "Kemudian sehabis itu Kami maafkan kesalahanmu, supaya kau bersyukur". Apakah "Kami" disini berarti Allah dan malaikat Jibril? Apakah malakat Jibril "berfirman" ? atau apakah malaikat Jibril "memaafkan"? Kalau bukan, Allah dengan siapakah "Kami" dalam konteks ayat-ayat ini ? Atau mengapa terkadang Allah memakai kata "Ayaatiina (ayat-ayat Kami)" dan terkadang pula Ayaati (Ayat-ayat Ku)" ?
Melihat kembali kepada sejarah, sepatutnya kita bertanya, "Apakah ada riwayat yang menceritakan bahwa ada sahabat Nabi ataupun orang-orang pada waktu itu yang mempertanyakan mengapa Allah mengunakan kata 'Kami' sebagai kata pengganti yang mengacu kepada diri-Nya, ibarat ketika Allah menyampaikan Ayaatina (ayat-ayat Kami), bukannya ayaati (Ayat-ayat Ku) ?".
Penulis sendiri belum menemukan ada riwayat sahih yang menceritakan demikian. Di jaman Rasulullah memang para sahabat memegang prinsip sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami taat), akan tetapi bukan berarti mereka tidak pernah bertanya. Sangat banyak riwayat hadis yang menceritakan bagaimana sahabat mempertanyakan atau meminta klarifikasi mengenai sesuatu.
Jadi, mengapa tidak ada riwayat sahih yang menyampaikan bahwa sahabat mempertanyakan mengapa Allah memakai kata "Kami" yang berarti jamak? Sedangkan hal ini berafiliasi dengan doktrin tauhid yang diperjuangkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang diperjuangkan nabi-nabi terdahulu, bahwa Allah itu Ahad, satu, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Jika ada seseorang Nabi yang menyampaikan "Tuhan itu satu, hanya ada satu Tuhan" kepada sekelompok masyarakat yang mempunyai banyak Tuhan, lalu beliau mengemukakan ayat-ayat dimana ayat-ayat tersebut memakai kata "Kami" sebagai kata ganti yang mengacu kepada diri Tuhan, tidakkah hal tersebut seharusnya akan menjadi pertanyaan baik bagi pengikutnya ketika itu maupun bagi orang-orang yang tidak mau mengikutinya ?
"Kau menyampaikan Tuhan itu satu, tapi di dalam ayat yang kau sampaikan, ketika Tuhan berkata, Tuhan memakai kata ganti 'Kami' ..."
Jawabannya, alasannya tidak ada satupun orang pada masa Rasulullah yang menganggap "Kami" yang mengacu kepada Allah di dalam Al-Qur'an sebagai sesuatu yang jamak, yang berarti secara pemahaman linguistik pada masa dan di tempat tersebut, penggunaan 'Kami' yang mengacu kepada Tuhan yang satu bukanlah suatu kejanggalan. Di beberapa bahasa di dunia, khususnya bahasa semit dan turunannya (misalnya Ibrani, Arab, dan Urdu) ialah biasa memakai bentuk jamak untuk mengacu kepada sesuatu yang tunggal, sebagai bentuk penghargaan, penghormatan atau pengagungan.
Contohnya, di dalam Injil kitab "Kejadian (bereshit)" yang merupakan kitab pertama dalam Alkitab/Bible (salah satu dari lima kitab yang dianggap sebagai Torah atau Taurat) yang merupakan kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen, ayat pertama pasal kesatu-nya berbunyi "Bereshit bara Elohim et hashamayim ve'et ha'arets (Pada mulanya Allah membuat langit dan bumi). Dalam bahasa ibrani untuk pertanda bentuk jamak, ditambahkan kata "-im" di belakang kata benda. Bahasa ibrani untuk "Tuhan" ialah "Eloh" atau "Elah". Elohim berarti "banyak tuhan" atau "tuhan-tuhan". Tetapi tanyakan kepada setiap orang Yahudi, apakah "Elohim" berarti "banyak tuhan" ? Tentu saja mereka akan menjawab "Tidak". Tidak ada satupun Injil dari ribuan terjemahan di seluruh dunia yang menterjemahkan Elohim sebagai "Tuhan-Tuhan" atau "Gods". Mengutip dari Eerdmans Bible Dictionary ketika menjelaskan mengenai kata "Elohim (literal: tuhan-tuhan)" ini sebagai berikut :
"As a name or designation of the God of Israel, the term is understood as a plural of majesty or an intensive plural, indicating the fullness of the supreme (or only) God ... the canonical intent is clearly monotheistic, even where the accompanying verbs or adjectives are grammatically plural (e.g. Gen. 20:13, Exod. 22:9 [Mt 8])"
Atau ketika di ayat ke-26 pasal pertama kitab kejadian yang menyampaikan "Vayomer Elohim [jamak] na'aseh [jamak] adam betsalmenu [jamak]... (Tuhan berfirman, "Marilah Kita membuat (na'aseh) insan (adam) berdasarkan gambar Kita (betsalmenu) ...). Silahkan ditanyakan ke setiap orang Yahudi apakah ayat ke 26 pasal kesatu kitab kejadian ini menyatakan bahwa Tuhan itu lebih dari satu ? Dengan tegas mereka akan menyampaikan "tidak" (Kita mungkin akan memperoleh tanggapan yang berbeda jikalau yang kita tanya ialah orang Kristen, akan tetapi tentu saja Perjanjian Lama hadir dan tumbuh dalam bahasa dan tradisi Yahudi, jauh sebelum Katolik muncul).
Mengapa ? padahal kesemuanya memakai bentuk jamak. Jawabannya, alasannya itu merupakan bentuk pengagungan, pemuliaan Tuhan kepada diri-Nya. Sudah suatu hal yang lazim dalam bahasa Ibrani maupun Arab untuk memakai sesuatu yang jamak pada bentuk tunggal untuk menghormati bentuk tunggal tersebut. Dalam bahasa Inggris, ini disebut dengan "Majestic Plural", "The royal 'We'", atau "editorial we".
Dijabarkan di dalam wikipedia mengenai definisi "Majestic Plural" : The majestic plural (pluralis maiestatis/majestatis in Latin, literally, "the plural of majesty," maiestatis being in the genitive case), is the use of a plural pronoun to refer to a single person holding a high office, such as a monarch, bishop, or pope. (http://en.wikipedia.org/wiki/Majestic_plural).
Hal senada juga sanggup dilihat di http://wordsmith.org/words/nosism.html ataupun kamus-kamus online maupun offline lainnya.
Jadi, penggunaan kata "Kami" dalam Al-Qur'an tidaklah berarti bahwa Allah itu lebih dari satu, akan tetapi lebih kepada bentuk bahasa. Di Indonesia, dimana Majestic Plural ini tidak (atau jarang) digunakan, hal ini masuk akal menjadi pertanyaan, akan tetapi kita harus kembalikan kepada bahasa aslinya. Apalagi dalam bahasa Al-Qur'an, penggunaan "Kami" sebagai kata ganti Allah ialah tidak pribadi sebagai subjek, akan tetapi sebagai penambahan partikel bentuk plural orang pertama.
Contohnya : ketika Allah berkata "Kami berfirman", bahasa arabnya ialah "Qulnaa" yang secara harfiah berarti "berkata kami" dan tidak dihitung sebagai dua kata, akan tetapi satu kata kerja (bentuk tunggalnya ialah "Qultu"). Struktur ibarat ini tidak sama dengan yang ada di Indonesia, dan di masyarakat Timur Tengah, struktur ibarat ini sering dimanfaatkan sebagai Majestic Plural. Jadi, mengapa Allah kadang kala memakai kata "Kami" kadang kala memakai kata "Aku" ?.
Ketika Allah memakai kata "Kami", pada ketika itu Allah sedang menawarkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga kata-kata "Kami" banyak dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan ibarat penciptaan alam semesta, atau ketika Allah menyampaikan mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah menyampaikan "Kami maafkan", ketika itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai Maha Pemaaf.
Sedangkan ketika Allah memakai kata "Aku", Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Kaprikornus ketika Allah menyampaikan "ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, bukannya "ayaatiina (ayat-ayat Kami)" sebagaimana yang dipakai di banyak tempat yg lainnya dalam Al-Qur'an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda-tanda, semua ayat-ayat itu ialah milik-Nya semata. Juga ketika mengisahkan mengenai kutipan percakapan Allah dengan nabi-nabi terdahulu ibarat Musa as dan Ibrahim as, kata "Aku" juga banyak digunakan.
Wallahu a'lam
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya Dari banyak sekali sumber.
Akan tetapi, bagaimana dengan surah Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi : "dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat ..." atau di surah Al-Baqarah ayat 52 yang menyampaikan : "Kemudian sehabis itu Kami maafkan kesalahanmu, supaya kau bersyukur". Apakah "Kami" disini berarti Allah dan malaikat Jibril? Apakah malakat Jibril "berfirman" ? atau apakah malaikat Jibril "memaafkan"? Kalau bukan, Allah dengan siapakah "Kami" dalam konteks ayat-ayat ini ? Atau mengapa terkadang Allah memakai kata "Ayaatiina (ayat-ayat Kami)" dan terkadang pula Ayaati (Ayat-ayat Ku)" ?
Melihat kembali kepada sejarah, sepatutnya kita bertanya, "Apakah ada riwayat yang menceritakan bahwa ada sahabat Nabi ataupun orang-orang pada waktu itu yang mempertanyakan mengapa Allah mengunakan kata 'Kami' sebagai kata pengganti yang mengacu kepada diri-Nya, ibarat ketika Allah menyampaikan Ayaatina (ayat-ayat Kami), bukannya ayaati (Ayat-ayat Ku) ?".
Penulis sendiri belum menemukan ada riwayat sahih yang menceritakan demikian. Di jaman Rasulullah memang para sahabat memegang prinsip sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami taat), akan tetapi bukan berarti mereka tidak pernah bertanya. Sangat banyak riwayat hadis yang menceritakan bagaimana sahabat mempertanyakan atau meminta klarifikasi mengenai sesuatu.
Jadi, mengapa tidak ada riwayat sahih yang menyampaikan bahwa sahabat mempertanyakan mengapa Allah memakai kata "Kami" yang berarti jamak? Sedangkan hal ini berafiliasi dengan doktrin tauhid yang diperjuangkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang diperjuangkan nabi-nabi terdahulu, bahwa Allah itu Ahad, satu, dan tidak ada sekutu bagi-Nya.
Jika ada seseorang Nabi yang menyampaikan "Tuhan itu satu, hanya ada satu Tuhan" kepada sekelompok masyarakat yang mempunyai banyak Tuhan, lalu beliau mengemukakan ayat-ayat dimana ayat-ayat tersebut memakai kata "Kami" sebagai kata ganti yang mengacu kepada diri Tuhan, tidakkah hal tersebut seharusnya akan menjadi pertanyaan baik bagi pengikutnya ketika itu maupun bagi orang-orang yang tidak mau mengikutinya ?
"Kau menyampaikan Tuhan itu satu, tapi di dalam ayat yang kau sampaikan, ketika Tuhan berkata, Tuhan memakai kata ganti 'Kami' ..."
Jawabannya, alasannya tidak ada satupun orang pada masa Rasulullah yang menganggap "Kami" yang mengacu kepada Allah di dalam Al-Qur'an sebagai sesuatu yang jamak, yang berarti secara pemahaman linguistik pada masa dan di tempat tersebut, penggunaan 'Kami' yang mengacu kepada Tuhan yang satu bukanlah suatu kejanggalan. Di beberapa bahasa di dunia, khususnya bahasa semit dan turunannya (misalnya Ibrani, Arab, dan Urdu) ialah biasa memakai bentuk jamak untuk mengacu kepada sesuatu yang tunggal, sebagai bentuk penghargaan, penghormatan atau pengagungan.
Contohnya, di dalam Injil kitab "Kejadian (bereshit)" yang merupakan kitab pertama dalam Alkitab/Bible (salah satu dari lima kitab yang dianggap sebagai Torah atau Taurat) yang merupakan kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen, ayat pertama pasal kesatu-nya berbunyi "Bereshit bara Elohim et hashamayim ve'et ha'arets (Pada mulanya Allah membuat langit dan bumi). Dalam bahasa ibrani untuk pertanda bentuk jamak, ditambahkan kata "-im" di belakang kata benda. Bahasa ibrani untuk "Tuhan" ialah "Eloh" atau "Elah". Elohim berarti "banyak tuhan" atau "tuhan-tuhan". Tetapi tanyakan kepada setiap orang Yahudi, apakah "Elohim" berarti "banyak tuhan" ? Tentu saja mereka akan menjawab "Tidak". Tidak ada satupun Injil dari ribuan terjemahan di seluruh dunia yang menterjemahkan Elohim sebagai "Tuhan-Tuhan" atau "Gods". Mengutip dari Eerdmans Bible Dictionary ketika menjelaskan mengenai kata "Elohim (literal: tuhan-tuhan)" ini sebagai berikut :
"As a name or designation of the God of Israel, the term is understood as a plural of majesty or an intensive plural, indicating the fullness of the supreme (or only) God ... the canonical intent is clearly monotheistic, even where the accompanying verbs or adjectives are grammatically plural (e.g. Gen. 20:13, Exod. 22:9 [Mt 8])"
Atau ketika di ayat ke-26 pasal pertama kitab kejadian yang menyampaikan "Vayomer Elohim [jamak] na'aseh [jamak] adam betsalmenu [jamak]... (Tuhan berfirman, "Marilah Kita membuat (na'aseh) insan (adam) berdasarkan gambar Kita (betsalmenu) ...). Silahkan ditanyakan ke setiap orang Yahudi apakah ayat ke 26 pasal kesatu kitab kejadian ini menyatakan bahwa Tuhan itu lebih dari satu ? Dengan tegas mereka akan menyampaikan "tidak" (Kita mungkin akan memperoleh tanggapan yang berbeda jikalau yang kita tanya ialah orang Kristen, akan tetapi tentu saja Perjanjian Lama hadir dan tumbuh dalam bahasa dan tradisi Yahudi, jauh sebelum Katolik muncul).
Mengapa ? padahal kesemuanya memakai bentuk jamak. Jawabannya, alasannya itu merupakan bentuk pengagungan, pemuliaan Tuhan kepada diri-Nya. Sudah suatu hal yang lazim dalam bahasa Ibrani maupun Arab untuk memakai sesuatu yang jamak pada bentuk tunggal untuk menghormati bentuk tunggal tersebut. Dalam bahasa Inggris, ini disebut dengan "Majestic Plural", "The royal 'We'", atau "editorial we".
Dijabarkan di dalam wikipedia mengenai definisi "Majestic Plural" : The majestic plural (pluralis maiestatis/majestatis in Latin, literally, "the plural of majesty," maiestatis being in the genitive case), is the use of a plural pronoun to refer to a single person holding a high office, such as a monarch, bishop, or pope. (http://en.wikipedia.org/wiki/Majestic_plural).
Hal senada juga sanggup dilihat di http://wordsmith.org/words/nosism.html ataupun kamus-kamus online maupun offline lainnya.
Jadi, penggunaan kata "Kami" dalam Al-Qur'an tidaklah berarti bahwa Allah itu lebih dari satu, akan tetapi lebih kepada bentuk bahasa. Di Indonesia, dimana Majestic Plural ini tidak (atau jarang) digunakan, hal ini masuk akal menjadi pertanyaan, akan tetapi kita harus kembalikan kepada bahasa aslinya. Apalagi dalam bahasa Al-Qur'an, penggunaan "Kami" sebagai kata ganti Allah ialah tidak pribadi sebagai subjek, akan tetapi sebagai penambahan partikel bentuk plural orang pertama.
Contohnya : ketika Allah berkata "Kami berfirman", bahasa arabnya ialah "Qulnaa" yang secara harfiah berarti "berkata kami" dan tidak dihitung sebagai dua kata, akan tetapi satu kata kerja (bentuk tunggalnya ialah "Qultu"). Struktur ibarat ini tidak sama dengan yang ada di Indonesia, dan di masyarakat Timur Tengah, struktur ibarat ini sering dimanfaatkan sebagai Majestic Plural. Jadi, mengapa Allah kadang kala memakai kata "Kami" kadang kala memakai kata "Aku" ?.
Ketika Allah memakai kata "Kami", pada ketika itu Allah sedang menawarkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga kata-kata "Kami" banyak dipakai untuk hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan ibarat penciptaan alam semesta, atau ketika Allah menyampaikan mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah menyampaikan "Kami maafkan", ketika itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai Maha Pemaaf.
Sedangkan ketika Allah memakai kata "Aku", Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Kaprikornus ketika Allah menyampaikan "ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, bukannya "ayaatiina (ayat-ayat Kami)" sebagaimana yang dipakai di banyak tempat yg lainnya dalam Al-Qur'an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda-tanda, semua ayat-ayat itu ialah milik-Nya semata. Juga ketika mengisahkan mengenai kutipan percakapan Allah dengan nabi-nabi terdahulu ibarat Musa as dan Ibrahim as, kata "Aku" juga banyak digunakan.
Wallahu a'lam
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya Dari banyak sekali sumber.